Rabu, 07 September 2011

CERITA RAKYAT TONDEI

oleh
Iswan Sual, S.S
Dituturkan oleh Lexy Sua)

1. Ma’beris
Pada suatu hari ada sepasang suami istri tinggal dalam satu rumah yang cukup sederhana. Letaknya cukup berjauhan dari pemukiman yang ramai. Si istri dalam keadaan hamil tua (baca:tinggal menunggu waktu pendek untuk melahirkan). Ini membuat si istri tak bisa lagi beraktifitas terlalu banyak di luar rumah. Pada zaman ini pekerjaan seorang perempuan desa tidak jauh berbeda dengan seorang pria dewasa. Namun keadaan hamillah yang membuat si istri ini tidak bisa berbuat seperti itu lagi.
Si suami suka berburu binatang hutan seperti tikus, monyet, dan babi. Karena kegemarannya ini kadang-kadang dia lupa pulang rumah dan tak ingat istri yang sudah hampir melahirkan. Ketika dirasanya hasil buruannya cukup untuk dibawa pulang, maka dia akan membulatkan hati untuk kembali ke rumahnya. Dia kembali dengan senyum puas walaupun kelelahan. Setibanya di rumah dia langsung meminta istrinya menyiapkan makan malam. Tak lupa dia juga meminta supaya istrinya memasak hasil buruannya. Keadaan terasa biasa saja. Istrinya hanya menurut saja kepada suaminya tanpa bicara. Itu adalah hal biasa. Si suami beristirahat membaringkan badan sambil melihat keluar. Malam itu bulan purnama. Lama kelamaan, situasi jadi berubah karena bunyi seperti anak yang sedang menyusui dari tetek ibu terdengar secara terus menerus. Si suami mulai bertanya-tanya. Dia mulai memperhatikan istrinya yang sedang bekerja di dapur. Diperhatikannya istrinya yang memotong binatang buruan dan juga bahan-bahan masakan dengan kukunya yang panjang seperti pisang. Punggung isrinya berlobang. Dari situlah bunyi suara bayi menyusui terdengar. Kelihatan ada bayi di dalam lubang pada punggung istrinya. Istrinya tiba-tiba menghadap dia dan mengejarnya. Si suami lari terbirit-birit kearah hutan belantara dan akhirnya mati ketakutan. Istrinya ternyata telah meninggal beberapa minggu sebelumnya pada saat sedang melahirkan. Sekarang dia telah menjadi hantu-Pontianak atau ma’beris.

2. Tidur 9 sehari
Cerita ini adalah kisah nyata dari ayah penulis mengenai seorang yang bernama Hero Timporok. Hero adalah kakek buyut dari penulis. Ayah dari ibu ayah penulis.
Cerita dimulai dari ketika Hero berumur 16 tahun. Suatu ketika dia memberitahu ayah ibunya bahwa dia akan tertidur selama 9 hari di lumbung padi. Apabila sudah lewat 9 hari dia tidak bangun, orang tuanya boleh menguburkannya. Hal inipun diberitahukannya setelah dia bermimpi. Inilah yang terjadi dalam mimpinya.
Tiba-tiba saja dia sudah berada di pantai. Disitu sudah ada seseorang yang berpakaian putih. Orang ini juga bersayap. Si orang bersayap, ini dari kejauhan, memberi peringatan supaya cepat-cepat naik di punggungnya kalau tidak dua ekor singa di sekitar akan segera menyantapnya. Ada keraguan dalam diri Hero. Namun karena singa semakin mendekat dan mengganas, Hero dengan cepat-cepat (tak ada pilihan lain) naik ke punggung orang bersayap itu. Hero dan si pria bersayap langsung melesat dan tiba-tiba mereka sudah berada di tengah lautan. Dalam hati si Hero penuh dengan tanda tanya. Perjalanannya memakan waktu beberapa hari. Akhirnya sampailah mereka di tepi laut seberang. Terdengar suara beng-beng-beng-beng. Seperti ada orang yang memukul-mukul besi dengan besi. Suaranya melengking di telinga. Dan tampaklah kepada Hero pintu gerbang yang panjangnya dari tanah sampai ke langit yang bergerak terbuka dan tertutup. Inilah yang menyebabkan suara beng-beng tadi. Tampak juga beberapa singa dekat pintu gerbang tersebut. Si manusia bersayap mengingkatkan sekali lagi supaya Hero bergegas masuk melalui pintu gerbang tersebut. Karena terdesak oleh singa-singa yang tampak mengancam, Hero memutuskan untuk berlari dengan cepat menerobos masuk melalui pintu gerbang yang terbuka dan tertutup.
Setelah melewat pintu gerbang, dia berjalan cukup lama sehingga akhirnya tiba di persimpangan jalan. Ada dua jalan. Yang satu terbuat dari emas berwarna kuning. Sedangkan yang satu lagi penuh duri. Pada saat Hero mencoba masuk di jalan yang terbuat dari emas, dia dicegat oleh manusia lain yang juga bersayap. Dia ditawarkan untuk melalui jalan yang berduri dulu. Namun dia diberitahu tak akan menderita ketika melewati jalan itu.
Dari kejauhan mulai terdengar jeritan orang. Semakin dekat semakin terdengar jeritan yang mengerikan. Akhirnya tampaklah dari jauh suatu wadah yang besar sekali yang menyerupai panci pengoreng. Di bawahnya ada api yang tak terkira besarnya. Kelihatan orang-orang berbondong-bondong terjun kedalam wadah itu. Sambil terjun mereka menyebutkan (meneriakkan) dosa-dosa atau perbuatan buruk mereka sewaktu masih hidup. Sampai mereka jatuh ke dalam wadah besar (seperti lautan besarnya) yang mendidih sangat panas. Ada beberapa orang yang dikenalnya di situ.
Hero sangat tak tahan melihat penderitaan orang-orang tersebut. Sangat menakutkan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari situ. Setelah cukup lama di situ, Hero diarahkan oleh seorang yang bersayap untuk menuju ke tempat lain.
Mereka mulai berjalan lagi. Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan. Dari kejauhan mulai terdengar suara yang nyaring nan indah. Semakin dekat semakin indah. Hero merasakan merdunya suara itu. Seperti paduan suara. Dari kejauhan dia melihat sejumlah besar orang yang berkumpul berpakaian serba putih. Suara nyaring dan merdu ternyata berasal dari kumpulan manusia berpakaian putih ini. Seperti paduan suara mereka menyanyi dengan penuh sukacita. Heropun mengamat-amati ternyata ada orangtuanya. Mungkin tempat inilah yang dinamakan dengan surga. Tidak lama kemudian si manusia bersayap memberi tanda bahwa waktunya telah habis. Diapun dituntun pulang melewati tempat dimana dia lewat sebelumnya.
Tiba-tiba Hero terbangun dari tidurnya. Waktu itu banyak orang telah terkumpul untuk menyiapkan pemakaman darinya. Karena selama sudah 9 (Sembilan) hari dia tertidur tak sadarkan diri. Ternak dan banyak ayam berkeliaran seringkali mengerumuninya.
Orang-orang terkejut karena Hero akhirnya bangun dari tidur setelah tidur selama 9 (Sembilan) hari. Pada saat dia terbangun sudah ada di sampingnya gelang dan buku menyerupai alkitab (kaul). Konon dia banyak menyembuhkan orang hanya dengan meletakkan benda ke orang sakit. Tapi tidak tahu menahu tentang kitab itu. Nanti ketika injil dikenalnya dia melihat pendeta memegang benda seperti itu kemudian mengatakan bahwa benda itu sama dengan apa yang didapatinya setelah terbangun dari tidur 9 hari.
Cerita tentang Hero Timporok:
1. Ada suatu ketika Hero melakukan perjalanan ke desa Tompaso Baru. Di perjalanan ada seekor sapi berdiri tepat di jalan yang akan dilewatinya. Dia mengusahakan untuk menggiring sapi itu dari tengah jalan. Dicarinya pasak atau batang kayu dimana ujung tali sapi diikatkan. Dibukanyalah tali itu dan dipindahkanlah sapi itu sedikit jauh dari jalan. Ada orang yang melihat tindakannya itu. Tak lama kemudian sapi itu mati. Berita ini dengan cepat-cepat disebarkannya ke kampung terdekat. Maka orang-orang kampung menjadi marah dan beriktiar untuk membunuh Hero. Lengkap dengan parang dan senjata tajam lainnya mereka berbondong-bondong menyusul si Hero. Pada saat mereka bersua satu sama lain, Hero terkejut dengan segerombolan orang yang banyak itu. Mereka langsung berteriak, “jadi ini ya si jagoan itu?!”. “ ada apa ini”, tanya Hero. “jangan pura-pura kamu bangsat! Kami berani-beraninya membunuh sapi kami hingga warnanya berupa menjadi biru. Kamu mau pamer ilmu saktimu itu?!”. “ Tidak ada maksud saya untuk melakukan hal seperti itu”, Hero menjelaskan. Dia memberitahu mereka yang sebenarya. Mereka tidak percaya dan mulai menyerang. “kalian tidak boleh menghakimiku dengan tidak adil seperti ini”, dia memperingatkan. Belum dihabiskanya satu kalimat kedua dia tiba-tiba sudah diserang dari belakang dengan Tombak. “sek…puk…”. Tombak dan peda mengenai punggungnya tapi tidak sampai melukainya. Karena tak seorangpun mau mendengarnya akhirnya dia kehilangan kesabaran. Satu persatu dilawannya. Hampir semua lelaki dewasa dikampung itu yang datang hendak membunuhnya mati di tangannya.
2. Hero Timporok pada awal kedatangannya di Mawale (kemudian disebut Tondei) pernah menghadapi suatu peristiwa yang cukup pelik. Banyak orang Mongondow yang masih mau untuk mempertahankan wilayah sekitar Mawale ini karena orang Mongondow merasa bahwa ini adalah tanah mereka. Pada suatu saat ketika sudah ditetapkan bahwa Wilayah Mawale dan sekitarnya sebagai tempat pemukiman baru/kampung, maka mulailah menetap Kelompok orang di antaranya Daniel Muntu-untu, Mogogibung, Jusof Wongkar, dan Hero Timporok (ada sumber yang mengatakan bahwa bukan Hero tapi ayah darinya). Orang Mongondow tetap datang ke wilayah ini. Makanya tak heran kalau kadang-kadang saat anak-anak mereka sedang mengambil air nira tiba-tiba mau dijahati oleh orang Mongondow. Segeralah ayah-ayah mereka datang menolong mereka. Mereka dinamakan Hoga atau Mamu’is. Biasayan menculik dan mengambil kepala orang.
Menurut pemberitahuan burung wala untuk menjadikan mawale sebagai kampung, ada yang harus ditumbalkan atau rages. Pada suatu ketika kepada Yusof diberitahukan melalui burung bahwa pada jam 9 sudah ada yang harus ditombalkan. Mereka mencari-cari tapi tak ada. Ingatlah mereka kepada seorang berinisial M yang bertugas sebagai juru masak. Mereka segera menuju ke sabua/terung untuk segera menyembelihnya. Namun dalam perjalanan mereka bertemu dengan seekor ular piton /patola yang sangat besar. Mereka membunuh dengan senjata pepetur. Mereka menyuruh M untuk membawa ular yang sudah dibunuh itu sambil mengatakan “e kalo ca ro’na mindo kepe. Aling. Co eta karu ya rinages wo’o”, jangan dibawah dengan lelah, karena sebenarnya kamulah yang akan ditumbalkan. Tahulah si M bahwa sebenarnya dia yang menjadi tumbal. Ular dibawa ke rumah pertama.
Kepala dan ekor. Madumi. Tempat ular ditanam di sekitar halaman belakang rumah bujung.
Kapitu.sorong ketuju batas. M ini sebenarnya orang Mongondow namun akhirnya mengikuti Jusof dan kawan2 karena takut dibunuh.
Kemudian beberapa waktu kemudian mereka menemui 2 orang Mongondow lain yang mencoba menganggu kebaradaan Yusof dan kawan-kawan di wilayah sekitar Mawale. Satu orang langsung dipotong telinganya kemudian si Hero berkata,”pulang kamu sana. Jangan pernah kembali kesini”. Tetapi yang satunya lagi cukup sulit untuk diusir pulang. Dia sangat pandai berkelahi. Mereka berkelahi sudah hampir 1 hari. Kemudian si Hero memberikan (selewir rokok) sebatang rokok di ujung parangnya kepada si Mongondow. Sportivitas atau strategi mencari kelemahan/licik. Dari situlah ketahuan ternyata letak kelamahannya ada di telapak kakinya. Merekapun berkelahi lagi dari tanah sampai ke ujung-ujung pohon yang tinggi. Ditusuknya telapak kaki si Mongondow dan jatuhlah ia dan memohon untuk dikasihani.
3. Menjelang kematianya, dia berpesan bahwa tak satupun dari anak-anak atau cucunya yang boleh mengambil “wentel” atau jimat yang dia punya. Sebab, itu tidak diminta dari orang lain melainkan itu datang sendiri padanya tanpa diminta. Hero mati dalam keadaan yang sangat tenang. Tidak dalam keadaan sakit atau susah. Dia mati sewaktu tidur. Tapi dia sudah berpesan bahwa ajalnya akan segera tiba.Setelah dia mati, anaknya perempuan yang bernama Sali menyuruh seseorang untuk mencari saudara laki-lakinya yang bernama Alek dan beberapa keluarga dan tetangga yang bermukim di pegunungan di sekitar. Kematiannya juga dikawali oleh banyak tentara permesta. Banyak yang melayat untuk melihat orang yang semasa hidupnya banyak membantu orang, khususnya melengkapi mereka dengan jimat untuk melindungi mereka dari bahaya.
4. Pernah ada tentara permesta datang kepada Hero Timporok untuk meminta jimat kebal. Dia datang dengan beberapa anak buah. Juga membawa serta seorang wanita cantik. Dialognya:
Tantara : tetek kita mo minta pegangan. Kita mo minta yang boleh beking kita kabal. Biar dorang tembak ndak mo mempan. Kalu tu laeng-laeng. Sudah jo.
Hero : So ndak guna ngana mo minta itu.
Tentara : Oh kyapa bagitu. Tetek re’e tu Tuhan.
Hero : Ng mo korban di medan perang. Soalnya tu perempuan yang ngana bawa ini so perempuan ka brapa. Jadi ngana mo mati karena depe pantangan itu.
Tentara : Jadi tetek ndak mo kase dang. Kalu bagitu kita smo tembak pa tetek.
Hero : Oh ngana mo tembak pa kita dang. Coba kamari kalu ngana laki-laki. Tembak kamari di mulu (sambil membuka lebar-lebar mulutnya).
Tentara berdiri dan mengeluarkan pistol dan hendak menembak tapi senjata menjadi macet dan tak mengeluarkan bunyi dan peluru. Si tentara pulang tak bersyarat.
5. Pernah juga datang seorang tentara lain. Dia meminta wentel. Dia membawa hadiah:pakaian, makanan dan uang. Pakaian yang bagus. Hero tak pernah memintanya. Pada saat dia melihat uang yang bergambar Sukarno dia mengatakan bahwa orang dalam gambar itu adalah pemimpin besar. Si tentara mengatakan sebaiknya dia tidak menunjukkan keberpihakan karena permesta tidak akan senang. Apalagi dia adalah seorang muslim. Hero mengatakan bahwa walaupun demikian tapi dia adalah pemimpin yang besar sehingga dia senang dengan orang itu.
6.



3. Songkok
Ada dua orang pemuda yang berprofesi sebagai petani gula. Mereka kadang-kadang saling membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas masing-masing apabila ada di antara mereka yang menyelesaikan pekerjaan lebih dulu.
Suatu hari terjadi: salah satu dari penghasilan kedua pemuda itu mulai berkurang. Air nira yang dihasilkan dari pohon enaunya mulai menyusut. Timbullah rasa irih. Dia berencana untuk tidak meminum lagi air niranya. Namun air nira temannya. Setiap malam dia pergi ke pohon enau temannya dan meminum air nira. Ini menyebabkan air nira dari temannya juga berkurang. Lama-kelamaan pemuda ini mulai curiga.
Yang mengherankan lagi adalah ternyata pemuda yang meminum nira ini secara diam-diam adalah songkok. (Songkok adalah manusia yang kepalanya tercabut dari badannya ketika dia berubah wujud menjadi hantu. Konon dia suka makan kotoran ayam. Itulah sebabnya kadang-kadang orang melihatnya di pohon dimana ada ayam bertengger. Manusia hanya dapat melihatnya dalam rupa seperti bunga api yang menyemburkan api. Konon, semburan api itu sebenarnya adalah semburan darah karena kepalanya terlepas dari badannya).
Kejadian ini berlanjut selama beberapa hari. Ini menimbulkan kecurigaan dari temannya. Akhirnya suatu saat, dia mengkonsultasikan hal ini kepada orang pintar (dukun) di desanya. Disarankannya supaya sebaiknya dia mencari waktu untuk mengeceknya sendiri. Dia juga mengatakan supaya mencari duri-duri yang banyak untuk dililitkan di sekitar pusu dimana air nira diambil. Pesannya: durinya harus banyak.
Diputuskannya untuk mencari tahu dengan mengawasi selama satu malam pohon nira yang hasilnya makin berkurang itu. Seperti biasa dia pulang ke rumah bersama-sama dengan temannya yang sebenarnya adalah songkok itu. Tak lama di rumah dia langsung kembali ke kebun di sekitar pohon nira. Dia mencari tempat yang cocok dari mana dia bisa mengawasi siapa kira-kira yang mencuri air niranya. Namun hal itu tentu tidak diberitahukannya kepada temannya itu.
Lama dia menunggu, namun tak terjadi apa-apa. Akhirnya setelah jam menunjukkan kira-kira pukul 08.00 malam, sesuatu pemandangan aneh membuatnya penasaran. Dia dengan rasa penasaran mulai memperhatikan kumpulan lampu yang bergerak menyerupai kunang-kunang. Dari pengamatannya terlihat dia bergerak menaiki tangga dan berhenti tepat di sekitar “pusu”. Akhirnya dia menyimpulkan bahwa yang membuat air niranya berkurang adalah sejenis binatang yang menyerupai kunang-kunang (sejenis kumbang). Karena sudah lama dia tidak turun juga, akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke rumah untuk beristirahat-tidur.
Keesokkan harinya, seperti biasa dia menuju kebun untuk mengambil air niranya. Dia sempat mampir di rumah temannya. Tapi walaupun dia memanggilnya beberapa kali hasil nihil. Temannya tidak memberi sahutan. Tidak seperti biasanya. Setelah menunggu lama, akhirnya dia memutuskan untuk pergi tanpa temannya.
Dia memutuskan untuk mengambil air nira yang paling jauh. Pohon aren yang menghasilkan sedikit air nira diputuskannya untuk menjadi tujuan terkhirnya.
Hal yang sangat mencengangkan terjadi. Waktu itu hari mulai terang. Matahari sudah bersinar. Tak ada lagi yang tidak kelihatan. Dia sangat kaget ketika tiba di pohon terakhir. Dari bawah dia melihat temannya di atas nira tanpa badan hanya kepala dan isi perut. Tergantung di sekitar pusu. Isi perutnya tersangkut pada duri-duri yang terlilit di sekitar pusu. Temannya kelihatan menakutkan dan mengenaskan.
4. Mangindano
Di mawale tinggal beberapa orang untuk berkebun. Di daerah ini juga yang menjadi sasaran dari para mamu’is mencari kepala manusia. Orang menyebutnya sebagai orang Mangindano (Mindanau). Orang Filipina dulunya suka mencari budak di wilayah minahasa khususnya wilayah yang dekat pantai untuk m emudahkan mereka membawa ke kapal laut. Mawale (sekarang Tondei) adalah wilayah yang hanya berjarak kurang lebih 9 kilometer dari Pantai ongkau.

Ada suatu ketika di kampung mawale terdengar suara orang berteriak menjerit “indongi’I em pati ang cayu”. Teriakan ini merupakan pesan dari seorang lelaki yang sementara dibawa oleh sekelompok orang Mangindanow. Mereka juga disebut mamu’is. Mereka suka memotong kepala orang. Menculik orang dan dibawa ke Mindanau (Filipina).
Konon dulu ada orang yang berteriak sampai ke kampung-kampung dan meneriakkan bahwa barangsiapa kehilangan lenso/sapu tangan atau topi supaya tidak mencarinya lagi karena itu tandanya dia sudah diculik.

Sebenarnya di ujung kampung Tondei (Tondei Satu sekarang) ada sebuah batu yang menyerupai payung. Disitulah tempat dimana para tetua menggarikan bahwa tak satupun orang jahat bisa masuk ke dalam kampung. Sekarang batu itu sudah tidak ada. Sudah terkubur dalam tanah waktu dilaksanakan proyek pelebaran jalan dengan menggunakan alat besar seperti bulldozer dan loader atau escavator. Pengemudinya batu secara tiba-tiba setelah sebelumnya sakit segera setelah melaksakan tugas itu. Diperkirakan batu itu terkubur di tanah milik keluarga Lumowa Lumapow (John). Tempat itu disebut pinatikan.

Tidak ada komentar: