Sabtu, 14 April 2012

MA’BERIS

Oleh Iswan Sual

Pada suatu hari ada sepasang suami istri tinggal dalam satu rumah yang cukup sederhana. Letaknya cukup berjauhan dari pemukiman yang ramai. Si istri dalam keadaan hamil tua (baca:tinggal menunggu waktu pendek untuk melahirkan). Ini membuat si istri tak bisa lagi beraktifitas terlalu banyak di luar rumah. Pada zaman ini pekerjaan seorang perempuan desa tidak jauh berbeda dengan seorang pria dewasa. Namun keadaan hamillah yang membuat si istri ini tidak bisa berbuat seperti itu lagi.
Si suami suka berburu binatang hutan seperti tikus, monyet, dan babi. Karena kegemarannya ini kadang-kadang dia lupa pulang rumah dan tak ingat istri yang sudah hampir melahirkan. Ketika dirasanya hasil buruannya cukup untuk dibawa pulang, maka dia akan membulatkan hati untuk kembali ke rumahnya. Dia kembali dengan senyum puas walaupun kelelahan. Setibanya di rumah dia langsung meminta istrinya menyiapkan makan malam. Tak lupa dia juga meminta supaya istrinya memasak hasil buruannya. Keadaan terasa biasa saja. Istrinya hanya menurut saja kepada suaminya tanpa bicara. Itu adalah hal biasa. Si suami beristirahat membaringkan badan sambil melihat keluar. Malam itu bulan purnama. Lama kelamaan, situasi jadi berubah karena bunyi seperti anak yang sedang menyusui dari tetek ibu terdengar secara terus menerus. Si suami mulai bertanya-tanya. Dia mulai memperhatikan istrinya yang sedang bekerja di dapur. Diperhatikannya istrinya yang memotong binatang buruan dan juga bahan-bahan masakan dengan kukunya yang panjang seperti pisang. Punggung isrinya berlobang. Dari situlah bunyi suara bayi menyusui terdengar. Kelihatan ada bayi di dalam lubang pada punggung istrinya. Istrinya tiba-tiba menghadap dia dan mengejarnya. Si suami lari terbirit-birit kearah hutan belantara dan akhirnya mati ketakutan. Istrinya ternyata telah meninggal beberapa minggu sebelumnya pada saat sedang melahirkan. Sekarang dia telah menjadi hantu-Pontianak atau ma’beris.

TIDUR 9 HARI

Oleh Iswan

Cerita ini adalah kisah nyata dari ayah penulis mengenai seorang yang bernama Hero Timporok. Hero adalah kakek buyut dari penulis. Ayah dari ibu ayah penulis.
Cerita dimulai dari ketika Hero berumur 16 tahun. Suatu ketika dia memberitahu ayah ibunya bahwa dia akan tertidur selama 9 hari di lumbung padi. Apabila sudah lewat 9 hari dia tidak bangun, orang tuanya boleh menguburkannya. Hal inipun diberitahukannya setelah dia bermimpi. Inilah yang terjadi dalam mimpinya.
Tiba-tiba saja dia sudah berada di pantai. Disitu sudah ada seseorang yang berpakaian putih. Orang ini juga bersayap. Si orang bersayap, ini dari kejauhan, memberi peringatan supaya cepat-cepat naik di punggungnya kalau tidak dua ekor singa di sekitar akan segera menyantapnya. Ada keraguan dalam diri Hero. Namun karena singa semakin mendekat dan mengganas, Hero dengan cepat-cepat (tak ada pilihan lain) naik ke punggung orang bersayap itu. Hero dan si pria bersayap langsung melesat dan tiba-tiba mereka sudah berada di tengah lautan. Dalam hati si Hero penuh dengan tanda tanya. Perjalanannya memakan waktu beberapa hari. Akhirnya sampailah mereka di tepi laut seberang. Terdengar suara beng-beng-beng-beng. Seperti ada orang yang memukul-mukul besi dengan besi. Suaranya melengking di telinga. Dan tampaklah kepada Hero pintu gerbang yang panjangnya dari tanah sampai ke langit yang bergerak terbuka dan tertutup. Inilah yang menyebabkan suara beng-beng tadi. Tampak juga beberapa singa dekat pintu gerbang tersebut. Si manusia bersayap mengingkatkan sekali lagi supaya Hero bergegas masuk melalui pintu gerbang tersebut. Karena terdesak oleh singa-singa yang tampak mengancam, Hero memutuskan untuk berlari dengan cepat menerobos masuk melalui pintu gerbang yang terbuka dan tertutup.
Setelah melewat pintu gerbang, dia berjalan cukup lama sehingga akhirnya tiba di persimpangan jalan. Ada dua jalan. Yang satu terbuat dari emas berwarna kuning. Sedangkan yang satu lagi penuh duri. Pada saat Hero mencoba masuk di jalan yang terbuat dari emas, dia dicegat oleh manusia lain yang juga bersayap. Dia ditawarkan untuk melalui jalan yang berduri dulu. Namun dia diberitahu tak akan menderita ketika melewati jalan itu.
Dari kejauhan mulai terdengar jeritan orang. Semakin dekat semakin terdengar jeritan yang mengerikan. Akhirnya tampaklah dari jauh suatu wadah yang besar sekali yang menyerupai panci pengoreng. Di bawahnya ada api yang tak terkira besarnya. Kelihatan orang-orang berbondong-bondong terjun kedalam wadah itu. Sambil terjun mereka menyebutkan (meneriakkan) dosa-dosa atau perbuatan buruk mereka sewaktu masih hidup. Sampai mereka jatuh ke dalam wadah besar (seperti lautan besarnya) yang mendidih sangat panas. Ada beberapa orang yang dikenalnya di situ.
Hero sangat tak tahan melihat penderitaan orang-orang tersebut. Sangat menakutkan. Dia ingin cepat-cepat pergi dari situ. Setelah cukup lama di situ, Hero diarahkan oleh seorang yang bersayap untuk menuju ke tempat lain.
Mereka mulai berjalan lagi. Perjalanan yang panjang dan cukup melelahkan. Dari kejauhan mulai terdengar suara yang nyaring nan indah. Semakin dekat semakin indah. Hero merasakan merdunya suara itu. Seperti paduan suara. Dari kejauhan dia melihat sejumlah besar orang yang berkumpul berpakaian serba putih. Suara nyaring dan merdu ternyata berasal dari kumpulan manusia berpakaian putih ini. Seperti paduan suara mereka menyanyi dengan penuh sukacita. Heropun mengamat-amati ternyata ada orangtuanya. Mungkin tempat inilah yang dinamakan dengan surga. Tidak lama kemudian si manusia bersayap memberi tanda bahwa waktunya telah habis. Diapun dituntun pulang melewati tempat dimana dia lewat sebelumnya.
Tiba-tiba Hero terbangun dari tidurnya. Waktu itu banyak orang telah terkumpul untuk menyiapkan pemakaman darinya. Karena selama sudah 9 (Sembilan) hari dia tertidur tak sadarkan diri. Ternak dan banyak ayam berkeliaran seringkali mengerumuninya.
Orang-orang terkejut karena Hero akhirnya bangun dari tidur setelah tidur selama 9 (Sembilan) hari. Pada saat dia terbangun sudah ada di sampingnya gelang dan buku menyerupai alkitab (kaul). Konon dia banyak menyembuhkan orang hanya dengan meletakkan benda ke orang sakit. Tapi tidak tahu menahu tentang kitab itu. Nanti ketika injil dikenalnya dia melihat pendeta memegang benda seperti itu kemudian mengatakan bahwa benda itu sama dengan apa yang didapatinya setelah terbangun dari tidur 9 hari.

ASAL MULA BURUNG TERIOR

Oleh Iswan Sual

Di suatu desa yang berbukit tinggallah seorang ibu bersama seorang anaknya laki-laki. Anak laki-laki itu telah ditinggalkan ayahnya sejak dia masih dikandungan ibunya. Kepahitan hidup karena ditinggalkan suami membuat ibunya sakit-sakitan. Karena tak memiliki sanak saudara, wanita itu mengurus dirinya dan anaknya tanpa bantuan orang lain. Tambah lagi tinggal mereka agak jauh dari keramaian, ini membuat orang-orang di desa mereka jarang bersua dengan mereka.
Keruwetan hidup yang dialami orang wanita ini membuatnya menjadi seorang ibu yang keras terhadap anaknya. Dia berusaha mendidik anaknya untuk bekerja semenjak usia anaknya belum pantas untuk melakukan pekerjaan. Anak itu pun menurut dan menerima kenyataan.
Menjelang senja disuruhnya anaknya yang bernama Wuring itu untuk menimba air. Letaknya jauh dari kampung. Jalan yang harus ditempuh penuh becek dan menanjak. Melihat ibunya yang sudah tak berdaya, dengan sedikit takut karena hari mulai gelap, anak itu pun memaksa diri turun dengan perlahan menyusuri jalan ke mata air.
Baru beberapa saat di pancuran, hari sudah menjadi sangat gelap. Pohon yang rimbun membuat keadaan di sekitar kian pekat. Karena tak ada obor dia pulang dengan berjalan meraba-raba dengan kakinya. Dibantu tangan kanannya. Sedangkan tangan lainnya menahan beban di bahu. Belum sampai sepuluh meter dari pancuran dia terpeleset dan jatuh. Braak! Semua air dalam bambu tumpah di jalan yang becek itu. Untung wadah airnya tidak sampai pecah. Tanpa putus asa dia kembali menimba. Bunyi jangkrik, kodok bahkan burung hantu tidak diperdulikannya. Bayangan ular-ular berukuran sebesar badannya, yang konon sering dilihat oleh warga, tidak menggangu konsentrasinya menanti air penuh dalam bambu beruas lima tersebut.
Ibu yang menunggu di sabuah geram sebab anaknya tak kunjung tiba. Kepergian Wuring sudah terhitung lama, tidak seperti biasanya. Dia menyangka anaknya bermain dengan teman-temannya di mata air.
Dengan usaha terbaiknya dia pun mengambil sebatang rotan yang digantungkan di dinding. “Anak tak tahu diuntung! Rasakan jambuk ini bila kau kembali,” gumamnya.
Sang anak mengap-mengap menaiki tanjakan. Hampir kehabisan nafas. Berusaha dia menjaga keseimbangan agar tak jatuh. “Uter keli!” katanya. Berat sekali.
“Wuring! Dimana kamu? Kurangajar kamu ya!” ibunya berteriak dari sabuah.
Wuring tahu betul bila ibunya sudah berteriak begitu, pasti dia akan dilecut dengan cambuk hingga badannya bengkak-bengkak. Keperihan yang diakibatkan oleh rotan bisa berlangsung sampai berhari-berhari. Kian perih bila tak sengaja mengena rerumputan.
“Wuriiiing!” ibunya berteriak tanpa sabar tersisa.
“Iya bu! Sebentar lagi. Uter! Berat! Pikulannya terlalu berat!”
Semakin keras ibunya berteriak semakin keras juga Wuring berteriak. Dia terus menyebut kata uter yang berarti berat. Namun, dia semakin takut. Pikirannya kalut. Dia terus meneriakkan kata uter sambil menaiki bukit di belakang tempat tinggal mereka. Namun, karena terlalu takut akhirnya dia jatuh ke tanah. Dalam keadaan putus asa dia terus meneriakkan uter! Uter! Uter! Uter! Uterior! Uterior! Terior!
Tanpa sadar, tubuh Wuring ditumbuhi bulu-bulu. Dia kemudian memiliki sayap. Mulutnya menjadi monyong. Dalam keadaan gelisah dan takut karena perubahan yang terjadi pada raganya, dia berlari tak tentu arah. Tiba-tiba tubuhnya melayang. Dia terbang sembari berteriak terior! Terior! Wuring kemudian terbang menuju ke sabuah dan bertengger di atapnya. “Terior! Terior! Terior!”
Karena penasaran dengan bunyi yang terus saja terdengar itu, ibu Wuring memaksakan dirinya untuk keluar. Tak disangkahnya anaknyalah yang dia lihat. Wuring yang sedang berubah menjadi burung itu meneteskan air mata. Tak bisa lagi dia berbicara dalam bahasa manusia. Yang bisa dia ucapkan hanyalah terior! terior! terior! Ibunyapun menangis histeris.
“Wuring, maafkan ibu! Maafkan ibu yang jahat padamu, nak.”
Wuring yang kini sudah menjadi seekor burung sepenuhnya tak sanggup lagi melihat ibunya menitik air mata terus menerus. Dia tak tahan melihat memikirkan kemalangan ibunya yang kehilangan seorang anak untuk membantunya yang mulai uzur. Wuring kemudian terbang lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Di hari-hari berikutnya dia terus datang menengok ibunya. Setiap sore dia terbang kesana kemari di atas sabuah ibunya sambil berucap terior…terior…terior!

* Sabuah (Bah. Tontemboan Minahasa): gubuk
* Cerita ini dilisankan oleh Lexy Sual (ayah penulis). Konon, cerita ini dituturkan oleh para orangtua mereka dulu.