Sabtu, 14 April 2012

ASAL MULA BURUNG TERIOR

Oleh Iswan Sual

Di suatu desa yang berbukit tinggallah seorang ibu bersama seorang anaknya laki-laki. Anak laki-laki itu telah ditinggalkan ayahnya sejak dia masih dikandungan ibunya. Kepahitan hidup karena ditinggalkan suami membuat ibunya sakit-sakitan. Karena tak memiliki sanak saudara, wanita itu mengurus dirinya dan anaknya tanpa bantuan orang lain. Tambah lagi tinggal mereka agak jauh dari keramaian, ini membuat orang-orang di desa mereka jarang bersua dengan mereka.
Keruwetan hidup yang dialami orang wanita ini membuatnya menjadi seorang ibu yang keras terhadap anaknya. Dia berusaha mendidik anaknya untuk bekerja semenjak usia anaknya belum pantas untuk melakukan pekerjaan. Anak itu pun menurut dan menerima kenyataan.
Menjelang senja disuruhnya anaknya yang bernama Wuring itu untuk menimba air. Letaknya jauh dari kampung. Jalan yang harus ditempuh penuh becek dan menanjak. Melihat ibunya yang sudah tak berdaya, dengan sedikit takut karena hari mulai gelap, anak itu pun memaksa diri turun dengan perlahan menyusuri jalan ke mata air.
Baru beberapa saat di pancuran, hari sudah menjadi sangat gelap. Pohon yang rimbun membuat keadaan di sekitar kian pekat. Karena tak ada obor dia pulang dengan berjalan meraba-raba dengan kakinya. Dibantu tangan kanannya. Sedangkan tangan lainnya menahan beban di bahu. Belum sampai sepuluh meter dari pancuran dia terpeleset dan jatuh. Braak! Semua air dalam bambu tumpah di jalan yang becek itu. Untung wadah airnya tidak sampai pecah. Tanpa putus asa dia kembali menimba. Bunyi jangkrik, kodok bahkan burung hantu tidak diperdulikannya. Bayangan ular-ular berukuran sebesar badannya, yang konon sering dilihat oleh warga, tidak menggangu konsentrasinya menanti air penuh dalam bambu beruas lima tersebut.
Ibu yang menunggu di sabuah geram sebab anaknya tak kunjung tiba. Kepergian Wuring sudah terhitung lama, tidak seperti biasanya. Dia menyangka anaknya bermain dengan teman-temannya di mata air.
Dengan usaha terbaiknya dia pun mengambil sebatang rotan yang digantungkan di dinding. “Anak tak tahu diuntung! Rasakan jambuk ini bila kau kembali,” gumamnya.
Sang anak mengap-mengap menaiki tanjakan. Hampir kehabisan nafas. Berusaha dia menjaga keseimbangan agar tak jatuh. “Uter keli!” katanya. Berat sekali.
“Wuring! Dimana kamu? Kurangajar kamu ya!” ibunya berteriak dari sabuah.
Wuring tahu betul bila ibunya sudah berteriak begitu, pasti dia akan dilecut dengan cambuk hingga badannya bengkak-bengkak. Keperihan yang diakibatkan oleh rotan bisa berlangsung sampai berhari-berhari. Kian perih bila tak sengaja mengena rerumputan.
“Wuriiiing!” ibunya berteriak tanpa sabar tersisa.
“Iya bu! Sebentar lagi. Uter! Berat! Pikulannya terlalu berat!”
Semakin keras ibunya berteriak semakin keras juga Wuring berteriak. Dia terus menyebut kata uter yang berarti berat. Namun, dia semakin takut. Pikirannya kalut. Dia terus meneriakkan kata uter sambil menaiki bukit di belakang tempat tinggal mereka. Namun, karena terlalu takut akhirnya dia jatuh ke tanah. Dalam keadaan putus asa dia terus meneriakkan uter! Uter! Uter! Uter! Uterior! Uterior! Terior!
Tanpa sadar, tubuh Wuring ditumbuhi bulu-bulu. Dia kemudian memiliki sayap. Mulutnya menjadi monyong. Dalam keadaan gelisah dan takut karena perubahan yang terjadi pada raganya, dia berlari tak tentu arah. Tiba-tiba tubuhnya melayang. Dia terbang sembari berteriak terior! Terior! Wuring kemudian terbang menuju ke sabuah dan bertengger di atapnya. “Terior! Terior! Terior!”
Karena penasaran dengan bunyi yang terus saja terdengar itu, ibu Wuring memaksakan dirinya untuk keluar. Tak disangkahnya anaknyalah yang dia lihat. Wuring yang sedang berubah menjadi burung itu meneteskan air mata. Tak bisa lagi dia berbicara dalam bahasa manusia. Yang bisa dia ucapkan hanyalah terior! terior! terior! Ibunyapun menangis histeris.
“Wuring, maafkan ibu! Maafkan ibu yang jahat padamu, nak.”
Wuring yang kini sudah menjadi seekor burung sepenuhnya tak sanggup lagi melihat ibunya menitik air mata terus menerus. Dia tak tahan melihat memikirkan kemalangan ibunya yang kehilangan seorang anak untuk membantunya yang mulai uzur. Wuring kemudian terbang lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Di hari-hari berikutnya dia terus datang menengok ibunya. Setiap sore dia terbang kesana kemari di atas sabuah ibunya sambil berucap terior…terior…terior!

* Sabuah (Bah. Tontemboan Minahasa): gubuk
* Cerita ini dilisankan oleh Lexy Sual (ayah penulis). Konon, cerita ini dituturkan oleh para orangtua mereka dulu.

Tidak ada komentar: