Minggu, 19 April 2009

Gunung Tampusu Nan Cantik


Oleh: Iswan Sual

Hari ini cukup melelahkan namun menyenangkan, menyehatkan dan mengesankan. Saya dan teman-teman (Vipy Sondakh, Kendy Sengkey dan Iswadi Sual) berekspedisi ke Gunung Tampusu dan sekitarnya. Ini adalah ekspedisi kami kedua sekaligus jalan-jalan gratis. Kira-kira jam 1 siang kami berangkat. Kami menghabiskan 3 jam untuk bisa tiba di puncak gunung. Kelelahan tak terasa seiring canda tawa bergantian keluar dari mulut kami bertiga. Saat berada di atas gunung suasana menjadi sangat menyejukan. Ditiup angin sepoi-sepoi tubuh menjadi sedikit dingin. Mulut kami hanya diisi dengan roti dan air mineral seadanya. Handphone camera milik Kendy berkali-kali mendokumentasikan peristiwa dan tempat-tempat indah di naikan, puncak dan turunan gunung. Oh sangat menarik. Dari gunung ini kami bisa melihat gunung Klabat dan kota Tondano yang dihiasi kemolekan danau Tondano di pinggirnya. Kalau berjalan terus kami bisa melihat keindahan gunung Masarang, bukit-bukit indah, gunung Lokon, danau Linau-yang terkenal karena airnya yang bisa berubah warna. Disebelah danau Linau nampak bangunan pabrik gula Aren. Denagar-dengar, pabrik ini milik orang nomor dua di kota Tomohon-wakil walikota Syeni Watulangkow. Dengan memutar badan beberapa derajat sedikit kami bisa melihat bukit kasih yang mencolok karena salibnya yang besar. Hal yang lainnya adalah, tidak banyak yang tahu, ada danau dekat puncak gunung ini. Namanya danau Tampusu. Dari puncak hanya kira-kira 100 m. Kami sempat masuk ke air dan merasakan dinginnya air. Kami pulang tidak lewat jalan yang sebelumnya kami lalui.


Kami memutuskan secara tiba-tiba untuk mengambil rute yang berbeda. Kami tergoda untuk melihat dari dekat bahkan menjejakan kaki di desa yang kami tak tahu namanya. Setelah tiba di desa itu kami tahu ternyata kampung ini bernama Pangolombian. Dan setelah bertanya ke salah satu warga kami tahu bahwa kalau kami mengambil arah ke kiri maka kami akan mendapati desa Tondangou. Sedangkan kalau sebaliknya kami akan sampai di Perum Uluindano. Setelah melewati desa Pangolombian, kami berjalan terus. Saya sendiri baru tahu ternyata Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tomohon berlokasi di ujung kampung yang baru kami lewati itu. Kami kaget melihat berribu-ribu tikus berlarian di atas sampah-sampah. Menurut saya, TPA itu tidak layak. Yang paling dirugikan adalah masyarakat yang tinggal di daerah yang lebih rendah. Mungkin pemerintah kota Tomohon perlu mempermoi lagi tempat ini sehingga tidak membahayakan kesehatan masyarakat di sekitar TPA tersebut.

Kami ternyata mampu berjalan kaki sampai pusat kota Tomohon-tepatnya dekat Patung Opo Tololiu yang berdekatan dengan TV5D. Dasyat! Berkali-kami berusaha mencegat mobil untuk meminta tumpangan (istilah orang Manado ba-D.O). Namun tak satupun. Mungkin kami belum beruntung. Akhirnya kami mencegat mobil Tomohon-Tondano. Sesampai di pertigaan Tataaran 2 saya langsung mampir di Warnet dan menuangkan peristiwa perjalanan yang mengasyikan itu ke dalam blog ini. Kini saya sudah bisa beristirahat dengan tenang. Capek.

Sabtu, 18 April 2009

"Sistem Perwakilan Rakyat Yang Lebih Mewakili"

Oleh: Iswan Sual

Otonomisasi daerah yang sedari awalnya dikatakan akan memungkinkan terciptanya pelayanan yang lebih baik. Melihat kenyataannya sekarang, menurut hemat saya, seharusnya lebih dipikirkan lagi cara-cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan aplikasinya.
Indonesian menganut sistem demokrasi yang di dalamnya terdapat tiga pilar utama yang dikenal dengan istilah trias politica (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif). Ini berlaku dari tingkatan nasional, propinsi sampai kabupaten kota dan tingkat desa/kelurahan. Untuk lembaga legislatif di tingkat nasional disebut DPRI, Propinsi disebut DPRD Propinsi, Kabupaten/ kota disebut DPRD Kabupaten/Kota dan desa disebut BPD. Saya sendiri sedikit bertanya-tanya kenapa di tingkat kecamatan tidak ada lembaga legislatifnya sedangkan eksekutif punya. Seharusnya ada.
Anggota legislatif adalah orang yang mewakili daerah pemilihan tertentu. Dan dia adalah warga salah satu desa/kelurahan. Dan biasanya anggota legislatif tersebut cenderung akan lebih memperjuangkan kepentingan desa/kelurahannya sendiri ketimbang seluruh desa/kelurahan yang membentuk satu daerah pemilihan (Dapil). Itu saya anggap agak wajar karena ada kecenderungan bahwa mayoritas warga wajib pilih di desa dari mana dia berasal atau tinggal, memilih dia untuk duduk sebagai wakil rakyat. Sedangkan warga wajib pilih dari desa/kelurahan lain kemungkinan sedikit atau bahkan tak satupun yang memilih dia sebagai anggota legislatif. Pengecualiannya adalah kalau terjadi kawin campur antara si oknum caleg dengan warga yang berasal dari daerah lain. Memang kawin campur bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan secara politis.
Kecenderungan untuk memprioritaskan desa/kelurahannya sendiri merupakan hal yang sangat buruk. Namun sekali lagi, itu masih merupakan hal yang wajar menurut saya karena alasan yang sudah saya kemukakan tadi diatas. Fanatisme desa/kelurahan ada dimana-mana. Itu tak dapat dipungkiri. Itu merupakan wujud kecil dari chauvinisme. Dan chauvinisme adalah wujud kecil dari nasionalisme. Nasionlisme sendiri adalah wujud kecil dari internasionalisme.
Solusi untuk hal ini adalah perlu dibentuk DPRD di tingkatan kecamatan yang anggota-anggotanya adalah perwakilan desa. Ini, menurut saya, sangat menjamin tidak adanya desa yang tak terwakili dalam lembaga legislatif. Sebaiknya juga, anggota legislatif tingkat kabupaten adalah perwakilan dari tiap-tiap kecamatan yang ada dalam satu kabupaten.
Mungkin memang kedengarannya mustahil kalau yang kita pikir pertama-tama adalah besaran dana yang akan digunakan untuk membayar gaji anggota legislatif.
Namun, saya pikir dari sinilah kita juga harus bisa memikirkan kembali tentang jumlah gaji anggota legislatif. Menurut saya, gaji anggota legislatif harus dikurangi. Disesuaikan saja dengan UMP atau standar yang lebih rasional. Karena pemahaman yang mengatakan bahwa dengan menaikan gaji pejabat dan anggota DPR, maka korupsi bisa dikurangi, adalah salah besar dan dalih dari orang-orang tertentu untuk menjadi kaya dengan jalan pintas. Buktinya, ribuan orang ingin menjadi legislator bukan karena ingin menyejahterakan rakyat namun ingin memperkaya diri sendiri. Banyak orang-orang yang idealis yang rela dibayar sesuai UMP demi kepentingan rakyat.
Anggota legislatif perwakilan tiap-tiap desa bertanggungjawab penuh ke desa/kelurahan yang ia wakili. Begitu juga dengan anggota legislatif ditingkat kabupaten yang merupakan perwakilan tiap-tiap kecamatan. Ini menyebabkan ketaatan kepada partai akan dikalahkan oleh ketaatan kepada desa/kelurahan atau kecamatan. Sebab dengan begitu hegemoni partai-partai politik akan berkurang.

Minggu, 12 April 2009

Misteri Batu Lesung di Desa Tondey

Oleh: Iswan Sual

Pada hari Sabtu 11 April lalu, saya bersama tiga rekan mahasiswa yang berasal dari desa Tondey yaknie Vipy Sondakh, Hesky Kumayas, Iswadi Sual, Diego Kawengian (Ketua Kerukuanan Siswa Mahasiswa Tondey) secara suka rela berekspedisi ke batu Lesung dan beberapa batu lain yang menurut warga desa ada di sekitar kampung. Kami menemukan tiga batu lesung di tiga tempat yang berbeda.

Batu yang pertama yang kami datangi sering disebut orang sebagai batu Lesung. Sering juga disebut Batu Lutau (tembak/tembakan). Konon, batu ini mengeluarkan bunyi tembakan setahun sekali pada saat terjadi pergantian tahun. Saya sendiri belum pernah mendengar secara langsung batu ini mengeluarkan bunyi semacam itu. Padahal sewaktu kanak-kanak saya tinggal tidak kurang dari 100 meter dari letak batu Lesung ini. Saya bahkan sering bermain-main di batu tersebut.



Tidak banyak yang tahu namun batu misterius ini benar-benar ada. Batu ini terletak di desa Tondey Dua Kecamatan Motoling Barat Kabupaten Minahasa Selatan.
Batu ini dinamakan batu Lesung karena bentuknya memang mirip lesung yang biasa dipakai untuk menumbuk padi oleh masyarakat tradisional. Namun herannya batu ini, buat saya sendiri, terlalu besar dan tinggi untuk difungsikan sebagai tempat memisahkan beras dari sekamnya. Tingginya kira-kira 180 cm dari permukan tanah. Di sisi yang menghadap timur dan barat terdapat pahatan timbul gambar manusia. Gambar yang menghadap ke arah barat adalah gambar dari dua orang yang berpegangan tangan. Dari ciri-ciri gambar dapat disimpulkan bahwa yang satunya berjenis kelamin pria sedangkan yang satunya lagi


berjenis kelamin perempuan. Ukuran gambar yang menghadap ke barat kelihatan lebih kecil dari yang menghadap ke arah timur. Juga tidak berpegangan, melainkan kedua-duanya mengangkat tangan. Adakah pesan tersembunyi dari gambar di batu ini? Saya sering tanyakan ke diri saya dan ke teman-teman yang lain. Namun belum ada jawaban. Teman saya malah justru memberikan komentar: "ah ngana ini. Ngana pe kira-kira ini sama deng di Da Vinci Code."
Sebelum berangkat ke tujuan selanjutnya kami sempat membersihkan batu ini. Batu yang kedua yang kami cari dan temukan, terdapat di desa Tondey Induk, tepatnya di perkebunan Mawale (dulu perkebunan ini adalah bekas pemukiman masyarakat Tondey sebelum mereka pindah ke wilayah dimana desa ini berdiri sekarang). Dari ukurannya, batu ini lebih kecil dari batu Lutau. Posisinya tidak berdiri namun sudah roboh dan bagian bawahnya sebagian sudah terkubur dalam tanah
Batu yang ketiga ditemukan di kawasan persawahan di desa Tondey Dua. Namun keadaannya sudah rusak. Tapi masih berdiri tegak.