Minggu, 19 April 2009

Gunung Tampusu Nan Cantik


Oleh: Iswan Sual

Hari ini cukup melelahkan namun menyenangkan, menyehatkan dan mengesankan. Saya dan teman-teman (Vipy Sondakh, Kendy Sengkey dan Iswadi Sual) berekspedisi ke Gunung Tampusu dan sekitarnya. Ini adalah ekspedisi kami kedua sekaligus jalan-jalan gratis. Kira-kira jam 1 siang kami berangkat. Kami menghabiskan 3 jam untuk bisa tiba di puncak gunung. Kelelahan tak terasa seiring canda tawa bergantian keluar dari mulut kami bertiga. Saat berada di atas gunung suasana menjadi sangat menyejukan. Ditiup angin sepoi-sepoi tubuh menjadi sedikit dingin. Mulut kami hanya diisi dengan roti dan air mineral seadanya. Handphone camera milik Kendy berkali-kali mendokumentasikan peristiwa dan tempat-tempat indah di naikan, puncak dan turunan gunung. Oh sangat menarik. Dari gunung ini kami bisa melihat gunung Klabat dan kota Tondano yang dihiasi kemolekan danau Tondano di pinggirnya. Kalau berjalan terus kami bisa melihat keindahan gunung Masarang, bukit-bukit indah, gunung Lokon, danau Linau-yang terkenal karena airnya yang bisa berubah warna. Disebelah danau Linau nampak bangunan pabrik gula Aren. Denagar-dengar, pabrik ini milik orang nomor dua di kota Tomohon-wakil walikota Syeni Watulangkow. Dengan memutar badan beberapa derajat sedikit kami bisa melihat bukit kasih yang mencolok karena salibnya yang besar. Hal yang lainnya adalah, tidak banyak yang tahu, ada danau dekat puncak gunung ini. Namanya danau Tampusu. Dari puncak hanya kira-kira 100 m. Kami sempat masuk ke air dan merasakan dinginnya air. Kami pulang tidak lewat jalan yang sebelumnya kami lalui.


Kami memutuskan secara tiba-tiba untuk mengambil rute yang berbeda. Kami tergoda untuk melihat dari dekat bahkan menjejakan kaki di desa yang kami tak tahu namanya. Setelah tiba di desa itu kami tahu ternyata kampung ini bernama Pangolombian. Dan setelah bertanya ke salah satu warga kami tahu bahwa kalau kami mengambil arah ke kiri maka kami akan mendapati desa Tondangou. Sedangkan kalau sebaliknya kami akan sampai di Perum Uluindano. Setelah melewati desa Pangolombian, kami berjalan terus. Saya sendiri baru tahu ternyata Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tomohon berlokasi di ujung kampung yang baru kami lewati itu. Kami kaget melihat berribu-ribu tikus berlarian di atas sampah-sampah. Menurut saya, TPA itu tidak layak. Yang paling dirugikan adalah masyarakat yang tinggal di daerah yang lebih rendah. Mungkin pemerintah kota Tomohon perlu mempermoi lagi tempat ini sehingga tidak membahayakan kesehatan masyarakat di sekitar TPA tersebut.

Kami ternyata mampu berjalan kaki sampai pusat kota Tomohon-tepatnya dekat Patung Opo Tololiu yang berdekatan dengan TV5D. Dasyat! Berkali-kami berusaha mencegat mobil untuk meminta tumpangan (istilah orang Manado ba-D.O). Namun tak satupun. Mungkin kami belum beruntung. Akhirnya kami mencegat mobil Tomohon-Tondano. Sesampai di pertigaan Tataaran 2 saya langsung mampir di Warnet dan menuangkan peristiwa perjalanan yang mengasyikan itu ke dalam blog ini. Kini saya sudah bisa beristirahat dengan tenang. Capek.

Sabtu, 18 April 2009

"Sistem Perwakilan Rakyat Yang Lebih Mewakili"

Oleh: Iswan Sual

Otonomisasi daerah yang sedari awalnya dikatakan akan memungkinkan terciptanya pelayanan yang lebih baik. Melihat kenyataannya sekarang, menurut hemat saya, seharusnya lebih dipikirkan lagi cara-cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan aplikasinya.
Indonesian menganut sistem demokrasi yang di dalamnya terdapat tiga pilar utama yang dikenal dengan istilah trias politica (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif). Ini berlaku dari tingkatan nasional, propinsi sampai kabupaten kota dan tingkat desa/kelurahan. Untuk lembaga legislatif di tingkat nasional disebut DPRI, Propinsi disebut DPRD Propinsi, Kabupaten/ kota disebut DPRD Kabupaten/Kota dan desa disebut BPD. Saya sendiri sedikit bertanya-tanya kenapa di tingkat kecamatan tidak ada lembaga legislatifnya sedangkan eksekutif punya. Seharusnya ada.
Anggota legislatif adalah orang yang mewakili daerah pemilihan tertentu. Dan dia adalah warga salah satu desa/kelurahan. Dan biasanya anggota legislatif tersebut cenderung akan lebih memperjuangkan kepentingan desa/kelurahannya sendiri ketimbang seluruh desa/kelurahan yang membentuk satu daerah pemilihan (Dapil). Itu saya anggap agak wajar karena ada kecenderungan bahwa mayoritas warga wajib pilih di desa dari mana dia berasal atau tinggal, memilih dia untuk duduk sebagai wakil rakyat. Sedangkan warga wajib pilih dari desa/kelurahan lain kemungkinan sedikit atau bahkan tak satupun yang memilih dia sebagai anggota legislatif. Pengecualiannya adalah kalau terjadi kawin campur antara si oknum caleg dengan warga yang berasal dari daerah lain. Memang kawin campur bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan secara politis.
Kecenderungan untuk memprioritaskan desa/kelurahannya sendiri merupakan hal yang sangat buruk. Namun sekali lagi, itu masih merupakan hal yang wajar menurut saya karena alasan yang sudah saya kemukakan tadi diatas. Fanatisme desa/kelurahan ada dimana-mana. Itu tak dapat dipungkiri. Itu merupakan wujud kecil dari chauvinisme. Dan chauvinisme adalah wujud kecil dari nasionalisme. Nasionlisme sendiri adalah wujud kecil dari internasionalisme.
Solusi untuk hal ini adalah perlu dibentuk DPRD di tingkatan kecamatan yang anggota-anggotanya adalah perwakilan desa. Ini, menurut saya, sangat menjamin tidak adanya desa yang tak terwakili dalam lembaga legislatif. Sebaiknya juga, anggota legislatif tingkat kabupaten adalah perwakilan dari tiap-tiap kecamatan yang ada dalam satu kabupaten.
Mungkin memang kedengarannya mustahil kalau yang kita pikir pertama-tama adalah besaran dana yang akan digunakan untuk membayar gaji anggota legislatif.
Namun, saya pikir dari sinilah kita juga harus bisa memikirkan kembali tentang jumlah gaji anggota legislatif. Menurut saya, gaji anggota legislatif harus dikurangi. Disesuaikan saja dengan UMP atau standar yang lebih rasional. Karena pemahaman yang mengatakan bahwa dengan menaikan gaji pejabat dan anggota DPR, maka korupsi bisa dikurangi, adalah salah besar dan dalih dari orang-orang tertentu untuk menjadi kaya dengan jalan pintas. Buktinya, ribuan orang ingin menjadi legislator bukan karena ingin menyejahterakan rakyat namun ingin memperkaya diri sendiri. Banyak orang-orang yang idealis yang rela dibayar sesuai UMP demi kepentingan rakyat.
Anggota legislatif perwakilan tiap-tiap desa bertanggungjawab penuh ke desa/kelurahan yang ia wakili. Begitu juga dengan anggota legislatif ditingkat kabupaten yang merupakan perwakilan tiap-tiap kecamatan. Ini menyebabkan ketaatan kepada partai akan dikalahkan oleh ketaatan kepada desa/kelurahan atau kecamatan. Sebab dengan begitu hegemoni partai-partai politik akan berkurang.

Minggu, 12 April 2009

Misteri Batu Lesung di Desa Tondey

Oleh: Iswan Sual

Pada hari Sabtu 11 April lalu, saya bersama tiga rekan mahasiswa yang berasal dari desa Tondey yaknie Vipy Sondakh, Hesky Kumayas, Iswadi Sual, Diego Kawengian (Ketua Kerukuanan Siswa Mahasiswa Tondey) secara suka rela berekspedisi ke batu Lesung dan beberapa batu lain yang menurut warga desa ada di sekitar kampung. Kami menemukan tiga batu lesung di tiga tempat yang berbeda.

Batu yang pertama yang kami datangi sering disebut orang sebagai batu Lesung. Sering juga disebut Batu Lutau (tembak/tembakan). Konon, batu ini mengeluarkan bunyi tembakan setahun sekali pada saat terjadi pergantian tahun. Saya sendiri belum pernah mendengar secara langsung batu ini mengeluarkan bunyi semacam itu. Padahal sewaktu kanak-kanak saya tinggal tidak kurang dari 100 meter dari letak batu Lesung ini. Saya bahkan sering bermain-main di batu tersebut.



Tidak banyak yang tahu namun batu misterius ini benar-benar ada. Batu ini terletak di desa Tondey Dua Kecamatan Motoling Barat Kabupaten Minahasa Selatan.
Batu ini dinamakan batu Lesung karena bentuknya memang mirip lesung yang biasa dipakai untuk menumbuk padi oleh masyarakat tradisional. Namun herannya batu ini, buat saya sendiri, terlalu besar dan tinggi untuk difungsikan sebagai tempat memisahkan beras dari sekamnya. Tingginya kira-kira 180 cm dari permukan tanah. Di sisi yang menghadap timur dan barat terdapat pahatan timbul gambar manusia. Gambar yang menghadap ke arah barat adalah gambar dari dua orang yang berpegangan tangan. Dari ciri-ciri gambar dapat disimpulkan bahwa yang satunya berjenis kelamin pria sedangkan yang satunya lagi


berjenis kelamin perempuan. Ukuran gambar yang menghadap ke barat kelihatan lebih kecil dari yang menghadap ke arah timur. Juga tidak berpegangan, melainkan kedua-duanya mengangkat tangan. Adakah pesan tersembunyi dari gambar di batu ini? Saya sering tanyakan ke diri saya dan ke teman-teman yang lain. Namun belum ada jawaban. Teman saya malah justru memberikan komentar: "ah ngana ini. Ngana pe kira-kira ini sama deng di Da Vinci Code."
Sebelum berangkat ke tujuan selanjutnya kami sempat membersihkan batu ini. Batu yang kedua yang kami cari dan temukan, terdapat di desa Tondey Induk, tepatnya di perkebunan Mawale (dulu perkebunan ini adalah bekas pemukiman masyarakat Tondey sebelum mereka pindah ke wilayah dimana desa ini berdiri sekarang). Dari ukurannya, batu ini lebih kecil dari batu Lutau. Posisinya tidak berdiri namun sudah roboh dan bagian bawahnya sebagian sudah terkubur dalam tanah
Batu yang ketiga ditemukan di kawasan persawahan di desa Tondey Dua. Namun keadaannya sudah rusak. Tapi masih berdiri tegak.




Rabu, 25 Maret 2009

Harus Bagaimanakah Kita Sebagai Orang Minahasa?

Oleh: Iswan Sual

Tulisan berikut ini adalah semata-mata pemikiran saya pribadi. Mungkin banyak bias dan spekulasinya.
Orang Minahasa, selain terkenal dengan suka berpesta dan berdandan, terkenal pula dengan masyarakat yang sudah lama bebas dari yang namanya buta huruf/aksara. Bagi orang Minahasa, pendidikan itu sangat penting.
Menurut saya, orang Minahasa relatif sudah lama terlepas dari penjara buta huruf. Kesadaran ini sudah lama muncul di kalangan orang Minahasa. Sebagai akibatnya di Minahasa banyak lahir orang-orang pintar, berintegritas, dan berpengaruh di Republik Indonesia. Sebut saja Sam Ratulangi, Wolter Monginsidi, Walanda Maramis, Alex Kawilarang,Ampel Lembong dll.
Namun akhir-akhir ini, orang-orang Minahasa yang memiliki integritas makin berkurang. Ini disebabkan oleh banyak hal tentu. Diantaranya kekuasaan dan harta. Yang lebih parah adalah sekarang ini Tou Minahasa saling memakan satu sama lain. Partai-partai politik membagi-bagi orang Minahasa sehingga terpecah belah. Itulah pengaruh buruk dari partai yang terpusat di Jakarta. Mungkin sebaiknya Minahasa juga sedikit meniru langkah-langkah politik dari orang Aceh yang perjuangannya sampai memunculkan partai lokal di daerah mereka. Yang terpilih sebagai pimpinan daerahpun, kalau tidak salah, adalah tokoh yang diusung oleh partai lokal. Akankah orang Minahasa bisa mengikuti jejak orang Aceh? Butuh waktu dan usaha yang sungguh-sungguh saya pikir.
Orang Minahasa memiliki kemungkinan untuk memiliki partai sendiri. Kalau Aceh bisa, kenapa kita tidak? Mungkin mulai dari status "Daerah Istimewah Minahasa/Manado" dulu ya. Sebagaimana Aceh dan Yokyakarta.
Sampai sekarang saya bingung. Kok dua daerah di atas mendapat status yang khusus ya? Bukankah itu suatu hal yang aneh dan cenderung mengadaptasi perilaku "anak emas dan anak tiri".
Saya pikir itulah yang menyebabkan sehingga Indonesia tidak bisa berdiri tegak. Selalu saja teracam oleh disintegrasi. Dulu daerah-daerah di Nusantara di persatukan karena sama-sama merasa senasib dan sepenanggungan. Sekarang sudah tidak begitu. Minahasa sudah tidak senasib dengan Jakarta. Pembangunan (pendidikan dll) jauh lebih berkembang disana. Fasilitasnya lebih baik. Kita sekarang juga sudah tidak sepenanggungan. Maka untuk apalagi kita bersatu dalam NKRI. Hal perlu didiskusikan lebih lanjut saya pikir. Saya hanya berspekulasi.
Orang Minahasa mungkin harus lebih tegas lagi menghadapi orang-orang pusat. Layaknya orang Aceh. Dulu waktu pemerintahan Sukarno banyak orang Minahasa yang jadi menteri. Yang jadi pertanyaan sekarang:apakah orang Minahasa sudah tidak secerdas dulu. Mungkin ya, mungkin tidak.
Kita harus banyak memikirkan hal ini. Jangan-jangan kita sudah tidak dianggap ada lagi.

Selasa, 24 Maret 2009

Minahasan People: One Of The Lost Tribes of Jews?

Written by: Iswan Sual

Many speculations appears when dealing with where Minahasan came from. So far, we only rely on the legend of "Toar and Lumimuut". It's a mith only. Unfortunately, the version varied from person to person. Some personal sources say that Minahasan originated from Japan. But some say that these people originated from Phillipines. It's still unclear until today.
Many people tend to speculate about this. Even, there are some people say that maybe Minahasan is one of the lost tribes of Jews. That's quite interesting though.
Talking about Minahasan is pretty awkward. Long time ago these people lived among other sultanese like Ternate, Sangir, Bolmong, etc. But it's interesting to say that Minahasan had not their own royalty or something like that. No king. The system was democratic. It's awesome. But of course they had leader in every village (walak). These leader couldn't dominate. They were chosen by people. And the leaders had no absolute power to the people.
Minahasan people were so different from other cummunities like Mongondow, Sangir, and Ternate who lived not so far from where Minahasan people lived. Mongondow, Sangir, and Ternate were led by kings or sultan.
I always question why these people had a different way of life. They were very different.

Sabtu, 21 Maret 2009

Karna Mega Mall?

Oleh: Iswan Sual


Amper tiap hari kita lewat di Mega Mall. Selain suka ba angin sadiki, lengkali ja ba tamang akang pa tamang kalu dia mo perlu ba bli apa-apa. Mar paling banyak kali kita ja iko di jalang di muka Mall. Soalnya abis kerja kita deng tamang ja singga bli ikang di rumah makang.
Kita lengkali ja stres deng marah kalu lewat di trotoar karna banyak yang so ba dudu di trotoar. Tu paling parah karna so banyak yang ja pake tu trotoar voor bajual deng parkir motor deng oto. Kita lengkali babatanya sandiri:kyapa dorang nda ada ontak sto kang? Orang ja ba jalang akang, dorang so beking dorang pe tampa jual pulsa, nasi, rokok, jasa ojek, deng laeng-laeng. Di dalam hati kita lengkali ba taria "bangsat ni orang-orang! Nda da ontak!".
Mar skarang kita so dapa depe jawaban kyapa sampe dorang bagitu. Ternyata katu dorang itu korban dari reklamasi pante waktu lalu sampe skarang. Dorang no katu yang umumnya dulu tukang cari ikang. Dorang pe parau dulu ja sandar di pante yang mega mall so ambe skarang. Tu pante dulu katu dorang pe tampa mancari voor dapa doi makang deng tambah-tambah voor mo se skolah anak. Napa sto dorang pe anak so putus skolah. Sampe-sampe sto dorang pe anak-anak yang ja pake tu trotoar voor tampa batunggu sampe lat skali mo tunggu oto-oto bos di megamall ja singga datang ambe. Dorang ana ya tu so jadi lonte karna pengusaha deng pemerintah pe baku ator. Oh kasing katu torang pe nona-nona Minahasa. Dulu jadi tuan tanah skarang stenga mati cari doi di tanah sandiri karna orang luar so ambe. Kita le kwa heran kyapa pemerintah sampe kase biar tu pengusaha reklamsi tu pante voor jadi mega mall. Memang katu waktu baru mo buka dorang bilang itu mo buka lapangan kerja. Mar kita lia-lia tu ja kerja cuma tu pelayan-pelayan yang orang Minahasa. Kebanyakan yang tu dudu di posisi bagus tu orang luar katu ya.
Lapangan kerja yang tersedia nda se banding deng tu orang yang ilang kerja karno mega mall so se badiri. Kasiang katu tu orang Minahasa. Bangga-bangga nda tahu apa yang mo se bangga. Mangaku-mangaku Manado masih torang pe tanah, padahal orang laeng so kuasai. Kasing katu tu orang Manado.
Sadar e. Lama-lama torang pe tanah cuma jadi sejarah kalu dulu itu pernah jadi torang pe tanah. Jadi torang mo apa skarang?

Kamis, 19 Maret 2009

Terbakar Oleh Semangat Sendiri

Oleh: Iswan Sual

Sewaktu masih mahasiswa dulu saya pernah ikut dalam aksi-aksi mahasiswa dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Bahkan pimpinan perguruan tinggi dimana saya berkuliahpun tak luput dari sasaran kritik. Semangat waktu sangat berapi-api seperti tak tertahankan lagi.
Namun terkadang perjuangan yang kamu lakukan dulu banyak mengalami kesulitan. Mulai dari membangun kesadaran diantara teman-teman sampai mengerahkan mereka untuk bisa sepaham dengan konsep-konsep kami. Sangat disayangkan banyak mahasiswa seangkatan saya dulu tidak bergabung dikarenakan oleh kesulitan mereka di dalam memahami apa sedang kami perbincangkan. Jangankan mengerti perjuangan kami, apa yang diperbincangkanpun sulit dipahami oleh mereka. Jadi, perasaan saya bisa diungkapkan dengan meminjam kata-kata dari Praoediya Ananta Tour-"Saya terbakar oleh amarah sendiri".

Rabu, 18 Maret 2009

Bapikir Voor Bangun Torang Pe Kampung


OLeh: Iswan Sual



Buat kita pribadi, mo bangun kampung nda perlu terlalu muluk-muluk. Deng bapikir jo so bisa mulai bangun torang pe kampung. Torang orang Minahasa skarang musti lebe kritis dari orang-orang Minahasa dulu. Kalu dulu dorang bole beking masakan tino rangsak, erwe, geto, nasi ja'a, dodol, winongos, binolos, kukis apang, cucur deng tu laeng-laeng; nah kalu torang apa dang? Bukan kita anti deng tu tradisional-tradisional mar kita suka kalu ada orang Minahasa modern beking satu yang baru. Dulu waktu dorang pe masa, pasti dorang pe ciptaan blum cocok mo bilang masakan tradisional. Waktu itu dorang bilang makanan ciptaan paling baru.

Kita rasa torang musti lebe kreatif. Kyapa torang musti bagantong dari padi? Padahal torang punya banyak sumber makanan laeng. Kita yakin torang bisa beking makanan baru dari ubi, pisang, deng tu laeng-laeng. Kalu misalnya torang kreatif, torang nda lagi mo bergantong di beras. Orang-orang bisnis mo mancari akang pa torang. Karna dorang tau tu sumber makanan cuma satu-beras.

Kita heran skarang orang-orang stengah mati kerja berat siang malam pigi di kota cuma karna mo cari makang. Padahal kalu cuma mo makang, torang bole kembangkan banyak sumber makanan di kampung. Torang kwa skarang so iko-iko di sistem yang sangaja orang laen beking voor mo se untung pa dorang pe diri sandiri

Mungkin kita salah. Mar coba kwa torang orang Minahasa pikir bae-bae. Cita waya esa. Tou Minahasa.

Tarian Minahasa (Kabasaran) beraksi di kanada



DIALEKTIKA PENGHALANG PERGERAKAN


Oleh: I Soe Adi

Sebaiknya sebelum masuk lebih jauh dalam pembahasan ini ada baiknya bila diterangkan dulu maksud dari judul tulisan ini. untuk menghindari kesalahan interpretasi pembaca. Walaupun sebenarnya kita tak dapat membatasi pemahaman seseorang dalam menilai segala sesuatu. Dialektika dalam pemahaman penulis berkaitan dengan pertentangan antara dua hal sebagaimana juga yang dimaksudkan Hegel; pertentangn dua hal yang menimbulkan pertentangan yang lain. Sementara pergerakan lebih penulis kaitkan dengan proses pertarungan memenangkan ide dalam politik praktis.
Ada tiga jenis dialektika yang menjadi penghalang dalam pergerakan; dialektika kelas, dialektika etnis, dan dialektika watak.
Dialektika kelas
Dialektika kelas lebih atau sangat dekat dengan konsep marxis di mana masyarakat terbagi dalam kelas masyarakat borjuis dan kelas masyarakat proletar/marhaen (menurut istilah Soekarno). Pertentangan kelas ini selalu ada dalam masyarakat kapitalis menurut pandangan kaum marxis. Maka dari itu mereka mencoba menciptakan suatu pandangan atau idea masyarakat tanpa kelas dalam konsep masyarakat komunis modern.
Dialektika etnis
hitler menolak dialektika kelas yang ditawarkan kaum marxis yang mungkin dibencinya karena barasal dari kaum yahudi. bagi hitler dialektika yang sebenarnya adalah dialektika etnis. pertentangan antara ras yang akan berakhir dengan menangnya ras paling unggul. inilah kepercayaan yang dipegang oleh partai NAZI.
Dialektika watak
Dialektika watak adalah pertentangan yang ditimbulkan oleh perbedaan sifat manusia. Pertentangan ini tak lepas dari masyarakat dalam konsep apapun. Suatu dialektika yang lahir bukan dari idiologi tetapi lahir dari perbedaan sifat setiap manusia.

Ketiga dialetika di atas menghalangi pergerakan dalam suatu organisasi besar seperti negara.
Sebenarnya yang perlu ditingkatkan adalah kesejahteraan ekonomi dan intensitas olah pikir masyarakat tetapi hanya disibukkan dengan pertentangan kelas, etnis, dan watak. Pertentangan-pertentangn itu sering dimanfaatkan oleh para politisi untuk memenangkan tujuannya; berkaitan dengan strategi dan taktik politik yang diusakan untuk mencapai tujuan.

Selasa, 17 Maret 2009

Pendidikan Yang Membebaskan

Oleh: Iswan Sual


Kurikulum di Indonesia saat ini lebih banyak mengabdi pada sistem yang buruk. Istilah seperti sekolah kejuruan dan sebagainya itu merupakan satu ciri sistem pendidikan di negara kita yang tercinta. Semua yang kita pelajari di sekolah semata-mata merupakan pesanan dunia usaha atau dunia bisnis. Murid-murid mempelajari komputer, bahasa asing, dll, hanya untuk memuaskan nafsu neoliberalisme yang makin hari membawa kita masuk terperosok. Negara kita sibuk dengan hanya menyiapkan tenaga-tenaga terampil untuk memenuhi kuota pesanan dunia bisnis. Negara-negara maju, sebaliknya, menekankan upaya mereka pada penelitian. Ini yang membuat negara maju semakin maju, sedangkan negara berkembang seperti Indonesia hanya membeo saja. Negara seperti Indonesia kurang memberi perhatian pada bidang penelitian sehingga, dalam hal pendidikan, kita seolah-olah didikte oleh negara-negara maju. Buktinya adalah hampir semua buku dan referensi-referensi diimpor dari negara luar terutama dari Amerika.

Kita seolah-olah tak dapat menciptkan konsep sendiri. Metode pendidikan banyak yang diadopsi dari luar tanpa dipertimbakan apakah itu benar-benar sesuai dengan socio-budaya kita atau tidak. Padahal, negara kita juga bisa seperti negara lain. Tidak bergantung dari negara lain. Dulu Indonesia bisa membuat pesawat sendiri. Kita punya anak bangsa seperti Habibi. Kita juga punya Sukarno yang berani menentang neoliberalisme Amerika dan sekutunya. Itulah yang membuat negara kita diperhitungkan di antara negara-negara lain di dunia.

Pendidikan di Indonesia makin lama makin membeo. Layaknya copy-paste dari negara luar. Para lulusan luar negeri banyak kembali dan menjadi kaki tangan negara maju untuk menyosialisasikan ide-ide dan kebijakan politik ekonomi dari negera yang secara tidak langsung sedang menjajah kita.

WOC: Antara Keuntungan dan Kerugian


Oleh: Iswan Sual




Manfaat WOC bagi Sulawesi Utara telah disosialisasikan sampai ke pelosok daerah. Anak yang baru melihat duniapun tahu mengenai WOC. Pro dan kontrapun terdesiminasi.


Secara kasat mata event internasional ini menguntungkan masyarakat di Sulut. Tapi, sbenarnya, kita harus bertanya dengan kritis tentang hal ini. Apakah masyarakat umum yang diuntungkan atau justru cuma kalangan pengusaha, investor, atau orang yang bergerak di dunia bisnis saja? Apa program yang sudah dan akan banyak menghabiskan uang negara ini secara langsung menyentuh kepentingan masyarakat-terlebih yang kecil atau tidak? Jangan-jangan program ini hanya sebagai jalan bagi para pengusaha untuk lebih mengembangkan usahanya sedangkan rakyat kecil tidak mendapatkan apa-apa. Sebab event ini telah memungkinkan berdirinya banyak hotel dan fasilitas-fasilitas lainya yang notabene dikhususkan untuk kalangan elit saja.


Memang isu yang akan dibahas menyangkut kepentingan banyak orang. Tapi....