Senin, 17 Mei 2010

Imanuel: Tuhan Tidak Besertaku

(Sebuah naskah drama oleh Iswan Sual)

Sinopsis:
Ada dua orang muda yang hidup dalam keluarga yang berbeda. Dua orang muda ini mempunyai karakter yang berbeda dan latar belakang keluarga yang berbeda pula. Yang seorang adalah gadis yang ingin membanggakan orang tuanya secara ekonomi. Sedangkan yang seorang lagi adalah seorang pria yang ingin membanggakan orang tua dengan cara yang lain yakni sekolah tinggi supaya bisa memberikan kontribusi dalam segala bidang kehidupan dalam masyarakat. Tujuannya tidak hanya terfokus untuk kepentingan keluarganya saja.
Kedua pemuda ini berjuang keras untuk mewujudkan cita-cita mereka masing-masing. Sama-sama ingin menikmati masa muda dan sama-sama menghadapi masalah yang sangat pelik. Persoalan yang sangat berat membuat mereka jatuh bangun.
Si gadis yang bernama Elisya, rela menjual dirinya. Si pria yang bernama Imanuel menjadi politikus yang sangat moralis dan ateis. Kedua-duanya lewat pergumulan yang sangat berat mendapat pencerahan. Namun si pria tak sepenuhnya berbalik dan terlunta-lunta dalam hutan kesesatan. Si pria ini, yang dulunya sangat taat dan berpendidikan tinggi, sudah begitu terjerat dan sukar terlepaskan.


Introduksi:
Kehidupan ini sulit untuk dipahami dan kadang-kadang rumit untuk dimengerti. Hanya yang menciptakannya yang maha mengerti dan menentukan segalanya. Manusia hanya mereka-reka, Tuhanlah yang menetapkan segalanya.
Dalam dua keluarga yang berbeda. Terjadi perjuangan iman yang cukup membelalakkan mata dan menguncang iman serta pemikiran. Dua orang pemuda jatuh dalam jurang kesesatan.
Mereka berjuang mewujudkan cita-cita masing-masing dan melawan setiap kerikil-kerikil dalam perjalanan kehidupan mereka. Si pria hidup dalam keluarga yang hanya terdiri dari 4 orang anggota keluarga: ayah, ibu, dan saudara laki-lakinya yang benama Darius. Sedangkan keluarga si gadis terdiri dari 6 orang anggota keluarga: ayah, ibu, saudara laki-laki yang bernama Cicero, adik perempuan yang bernama Betsilah, dan adik perempuan yang lain yang bernama Melinda.
Ingin tahu kisah selengkapnya? Bagaimana setiap karakter ini saling berhubungan dengan karakter yang lain? Kita ikuti pementasan drama ini:
Sebagai:
Elisya diperankan oleh……
Ayah Elisya diperankan oleh………
Ibu Elisya diperankan oleh……….
Cicero diperankan oleh……….
Betsilah diperankan oleh………..
Imanuel diperankan oleh…………
Darius diperankan oleh….
Lea diperankan oleh…
Samuel diperankan oleh…
Stefan diperankan oleh….

Scene 1
(Ayah Elisya, sambil memegang sebuah amplop dengan penuh tanya, ragu, gugup, enggan membukanya, terduduk sendiri di ruang tamu).
Ayah Elisya : (sambil mengernyitkan dahi) Ini benar tidak ya untuk keluarga kami? Jangan-jangan…pak pos salah alamat. Tapi jelas kok…nama yang tertulis di amplop ini tepat dan persis seperti nama keluarga kami. (Sambil membaca seperti anak-anak yang baru belajar membaca)…kepada yang terhormat…ah! Pasti ini salah! Mana ada orang yang mau mengirimkan sesuatu buat kami. (Berdiri dan berjalan kesana kemari). Buka tidak…..buka…tidak. Buka….tidak….buka. Aduh….. bingung. (Tiba-tiba istrinya muncul tepat di belakangnya).
Ibu Elisya : Pak….bapak…ada apa sih? Seperti orang gangguan jiwa saja. Bicara dengan siapa?
Ayah Elisya : Ini bu. Tadi si pak pos datang mengantarkan sebuah amplop. Entah apa isinya. Surat atau apa ya? Kok tebalnya segini.
Ibu Elisya : Buka saja pak. Kan ini memang untuk kita (Sambil melihat amplop setelah diambil dari suaminya)
Ayah Elisya : Ah jangan. Kita bisa berurusan dengan aparat hukum kalau ternyata kita mengambil kepunyaan orang lain.
Ibu Elisya : Kita tidak bisa disalahkan. Kan pak pos yang mengantarkan amplop ini ke rumah kita. Lapipula di sini tertulis jelas nama keluarga kita.
Ayah Elisya : Terserah ibulah. Bapak memang suka khawatir kalau menerima sesuatu tanpa tahu pasti dari mana asalnya.
Ibu Elisya : Ayo kita buka pak. (Perlahan-lahan kedua orang tua ini membuka amplop tebal ini. Namun setelah membukanya, tiba-tiba wajah mereka berubah drastis dan dengan cepat meletakkannya kembali).
Ayah Elisya : Apa bapak bilang tadi?! Tu kan bu. Dalam amplopnya penuh dengan uang!!! Polisi akan datang dan akan memenjarakan kita bu… Bapak takut kita akan disebut keluarga pencuri. Bagaimana kita mempertanggungjawabkan ini pada anak-anak kita bu? Mau taruh dimana muka kita bu?
Ibu Elisya : Bapak…! Kita lihat saja dulu. Tuh ada surat. Kita baca. Barangkali ada petunjuk yang memberi tahu dari dan kepada siapa sebenarnya amplop ini.

(terdengar suara Elisya)

Yang terhormat Papa dan Mama,
Semoga papa dan mama dalam keadaan yang sehat. Maaf ya baru sekarang ada kabar. Aku sangat rindu pada papa, mama, Betsilah, Melinda dan Cicero. Bagus tidak nilai-nilainya Betsilah di SMP? Trus…Melinda bagaimana? Diakan sekarang sudah berumur 7 tahun. Sudah didaftarkan ke sekolah dasar belum? Cicero?
Ini…aku kirimkan sedikit uang untuk membantu keluarga kita. Mudah-mudahan ini bisa membantu meringankan beban keluarga kita. Sudah dulu ya… Nanti Elisya kabarkan lagi. Oh ya…ini no HPku. Kalau ada apa-apa, hubungi ya.

Anakmu,

Elisya

(Suara musik sedih terdengar. Kedua orang tua tertunduk mencucurkan air mata bahagia seakan tak percaya mendapat kabar langsung dari anak mereka yang beberapa tahun lalu langsung merantau setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas di kampung mereka).

Scene 2
Beberapa hari sesudah mendapat surat dan sejumlah uang dari Elisya, keluarga akhirnya memutuskan untuk membeli sebuah telpon genggam dari uang yang diberikan oleh Elisya dengan maksud agar mereka terus dapat berkomunikasi dengan Elisya. Bagi mereka, hubungan sekeluarga sangat penting untuk dijaga).

Dalam sebuah café dengan lampu-kerlap kerlip dan masik keras, duduklah Elisya dan temannya, Lea, bercakap-cakap.
(Layar terbuka separuh)

Lea : Lis, kenapa sih kamu sampai masuk dalam dunia seperti ini? Apakah kamu juga memiliki alasan seperti aku yang dikecewakan oleh pacarku?
Elisya : Keadaan ekonomi. Aku tak tahan melihat keadaan keluargaku. Menurutku kami tidak hidup layak. Hidup yang semestinya.
Lea : Memangnya apa pekerjaan kedua orang tuamu?
Elisya : Kedua orang tuaku pegawai pemerintah. Ayahku seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di propinsi kami. Sedangkan ibuku adalah pegawai di salah satu kantor di ibu kota kabupaten kami.
Lea : Loh kok…kamu bilang tidak hidup layak. Kedua orang tuamu pegawai. Kupikir…itukan seharusnya cukup. Dibandingkan aku, keluargaku: ayahku hanyalah seorang petani. Cuma ibuku saja yang pegawai.
Elisya : Iya sih… Tapi buatku itu tak cukup. Aku selalu merasa kekurangan. Kadang aku irih pada teman-temanku waktu masih di sekolah. Lagi, gaji kedua orangtua sudah digadaikan. Jadi, kami tak bisa lagi menikmati hidup.
Lea : Aku pikir kehidupan keluargamu lebih baik daripada keluargaku. Iya ya…memang negara kita belum merdeka. Cuma pejabatnya saja yang hidup dari kelimpahan. Rakyat menderita kelaparan. Pemerintah tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Tidak becus. Kalau misalnya kita benar-benar merdeka, kita tidak perlu bekerja di sini …
Elisya : Ah bisa saja! Bicaramu seperti para politikus-politikus. Memangnya kamu anggota partai politik juga ya?
Lea : Ah Lisya….! ( keduanya tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba telpon genggam Elisya berdering).
Elisya : Halo…halo…(karena kerasya bunyi musik, Elisya berdiri dan bergegas keluar dan menjauh serta mencari tempat yang kurang berisik. Kemudian kedengaranlah suara beberapa orang di ujung telpon).
(Layar terbuka penuh. Tampak dua ruangan yang berbeda)
Ayah Elisya : Halo…
Melinda : Halo kak. Kapan kakak pulang? Linda rindu sekali nih sama kakak. Bulan depan natal loh.
Elisya : Halo…Betsilah, Melinda, Cicero. Kakak baik-baik saja. Mungkin belum bisa pulang. Kakak masih sibuk.
Melinda : Kami mau merayakan natal bersama kakak. Oh ya kak…aku juara kelas loh.
Elisya : Nanti kakak kirimkan hadiah natal ya. Pasti kalian suka. (Betsilah, Melinda dan Cicero berteriak horeeee..karena senang).
Ayah Elisya : Elisya…ini ni mama mau bicara.
Ibu Elisya : Elisya…kabarmu baikkan?
Elisya : Baik bu. Sekarang aku sudah kerja. Pokok tidak ada yang perlu papa dan mama khawatirkan. Sudah dulu ya. Soalnya aku lagi sibuk. Sekarang kerja lembur. (Elisya begitu ingin cepat mengakhiri percakapan untuk menghindari pertanyaan ini dan itu dari ayah dan ibunya).
Ibu Elisya : Jaga diri ya…
Elisya : Ya bu…daaaa…..


Scene 3
(Layar terbuka).
Di studio pemotretan, tampak si fotografer sibuk menekan-nekan tombol kameranya. Kilat-kilat tak hentinya tertuju kepada para model. Mereka berdiri, duduk, jongkok, senyum senyam, berdiri lagi tanpa terlalu banyak diarahkan oleh si fotografer. Sungguh profesional baik model-modelnya maupun si fotografernya. Diantara model-modelnya ada juga si Elisya. Bahkan boleh dibilang dia adalah bintang di antara model-model pria dan wanita yang ada di studio itu. Para model bergantian menerima serangan kilat-kilat dari si fotografer. Si Elisya mendapat giliran terakhir. Model-model lain mulai bubar. Kemudian, kegiatan selanjutnya adalah memasukan peralatan fotografinya pada casingnya dan menaruh di tempat penyimpanan. Sementara si Elisya bersiap-siap pula.
Samuel : Ok! Malam ini cukup. Tapi kamu belum boleh pulang. Kita harus bersenang-senang malam ini untuk merayakan kesuksesan kita. (Samuel senyum mesum).
Elsya : Trus… (Dengan tingkah yang sedikit genit) putrimu ini…mau dibawa kemana oleh pangeranku? (Terlihat mereka sangat mesra dan intim. Layar tertutup).


Scene 4
Sementara itu, di tempat lain, tampak Imanuel di atas mimbar sedang menyampaikan Visi-Misi dan programnya apabila terpilih sebagai Bupati di kabupatennya. Dia begitu bersemangat dan serius menyakinkan calon pemilihnya mengenai upaya yang akan dilaksanakan nanti.
(Layar terbuka)
Imanuel : Saudara-saudara sekalian, bangsa kita adalah bangsa yang besar, kaya dan memiliki identitas yang membanggakan. Tanah air kita sangat luas. Jumlah penduduk yang padat. Sumber daya alam yang melimpah adalah potensi kita. Semua itu sebenarnya sudah cukup untuk membuat negara kita sejahtera. Semua itu seharusnya sudah bisa membuat setiap keluarga memiliki rumah atau tempat tinggal yang layak, membuat anak-anak kita mendapat pendidikan yang berkualitas, dan menyediakan lapangan pekerjaan untuk para penganggur yang cukup banyak.
Tapi semua itu belum bisa tejadi. Karena apa?! Kita sebenarnya belum merdeka. Kita belum bebas menikmati kemerdekaan. Itu karena para pejabat Negara kita dari yang teratas sampai yang paling rendah bekerjasama membodohi rakyat. Mereka menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat-oleh kita semua…..Terima kasih.
(tepuk tangan riuh terdengar mengisi semua ruang gedung. Imanuel segera turun dari panggung diikuti oleh rekan-rekan dan pendukung setianya).


Scene 5
Waktu pemilihan kepala daerah makin mendekat. Para kandidat makin getol berusaha menarik simpati rakyat. Ada yang memakai cara-cara yang baik, adapula yang kotor dan tidak beradab. Imanuel-walaupun mulai luntur imannya, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dalam mewujudkan cita-citanya untuk menjadi orang nomor satu di kabupatennya. Dalam adegan berikut tampak sedang diadakan rapat tim pemenangan Imanuel sebagai Bupati di sekretariat mereka. Mereka sedang membicarakan strategi dan taktik dalam memenangkan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Semua terlihat serius dan tegang.
(Layar terbuka).

Imanuel : Tidak!!! Saya tidak mau melakukan cara-cara kotor dan tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat seperti yang kau usulkan itu Darius!!
Stefan : Tapi…pak...sekarang ini kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Kita harus seperti itu. Para calon lain mendapat banyak suara dengan cara seperti itu. Malahan kita harus membuat cara itu semakin maksimal lagi.
Darius : Jaman sekarang…rakyat tidak membutuhkan pidato yang bagus dan pemimpin yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Masyarakat membutuhkan uang…uang dan uang. Gerejapun membutuhkankan uang. Lihat saja kenyataanya. Ada Gereja yang secara malu-malu dan terang-terangan ikut terjun ambil bagian. Orang matipun perlu uang…….itu kata ayahku haha haha haha…..haha..ha…
Imanuel : Dimana idealisme kalian? Rupanya kalian sudah menyerah ya. Kalian pikir saya mau seperti orang lain yang keluar masuk tempat ibadah dan melakukan kampanye berkedok kunjungan. Sesudah itu membagi-bagikan uang untuk pelayanan gereja. Itu curang. Itu sama dengan mengajarkan kepada rakyat bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang membeli suara rakyatnya. Vox populi vox dei. Suara rakyat suara Tuhan. Dan tak bisa dibeli.
Stefan : Tapi adakah cara lain? Lagipula gereja juga tidak keberatan dengan kunjungan para calon itu. Mereka butuh bantuan untuk pembangunan gereja. Apakah salah kalau kita membantu?
Imanuel : Ya…memang gereja sekarang mulai terbawa arus. Para pengambil keputusan di gereja seolah-olah membenarkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Aku kecewa dengan gereja sekarang ini. Ikut terbawa-bawa dalam arus dunia dengan berbagai alasan. Demi pembangunan gedung gerejalah, gedung pastorilah, kesejahteraan jemaatlah dan alasan-alasan tetek bengek lainnya. Saat ini pembangunan fisik yang diutamakan. Pembangunan gereja yang diutamakan daripada pembangunan iman. Jemaat bukan dikunjungi ketika sakit malah dibebani dengan ini dan itu atas nama Tuhan. Suatu saat nasib gedung-gedung gereja kita akan sama seperti di negara-negera Eropa dan Amerika. Gedungnya megah namun tak ada jemaatnya. Fungsinya hanya sebagai tempat siarah dan wisata. Dan satu hal Stefan, kita membantu tanpa berharap dibalas dengan suara dalam pemilu! Ketulusan-kasih. Kasih agape.
Darius : Pak… mau tak mau kita harus sesuaikan rencana dan strategi serta taktik kita dengan keadaan. Kalau tidak…(langsung dipotong oleh Imanuel)
Imanuel : Kalau tidak…aku tak akan pernah terpilih menjadi bupati?! Begitu maksudmu?! Aku kecewa dengan kamu Darius. Aku kecewa dengan kalian semua. Aku sekarang mulai meragukan kesetiakawanan kalian padaku. Sebenarnya kalian masih mendukung pencalonanku atau tidak sih?!!
Stefan : Tepat sekali! Jika bapak memaksakan idealisme dan rencana bapak itu, kami yakin bapak akan kalah. Kami hanya mengatakan apa yang menurut kami harus dikatakan. (semua keluar ruangan meninggalkan Imanuel satu per satu. Imanuel marah besar. Emosinya meninggi dan menghancurkan semua barang di sekitarnya. Dia mengamuk sambil mengucapkan kata-kata hujatan terhadap Tuhan).
Imanuel : Tuhan…mengapa kau perlakukan aku seperti ini? Kenapa usahaku tak bisa tercapai? Engkau malah hendak memberi kemenangan kepada orang yang berlaku curang? Apakah Engkau berpihak kepada orang yang tidak bermoral dan menjual Tuhan demi uang dan kekuasaan? Katakan padaku!! Katakan padaku!!! Tuhan masihkah kau besertaku? Tuhan tidak besertaku. God is not with me.
(Imanuel bertekuk lutut, menangis terisak-isak dan berakhir dengan keadaan menjadi sunyi. Posisi Imanuel kelihatan seperti orang yang melamun. Layar tertutup).


Scene 6
(Layar terbuka)
Setelah cukup lama bergaul dengan fotografernya sekaligus pacarnya, Elisya, secara tak disengaja, kini mengandung seorang bayi dalam kandungannya. Dalam adegan berikut dia hendak mengungkapkan kepada pacarnya mengenai hal itu. Hati ragu dan was-was muncul secara bergantian dalam hati dan benaknya.
Elisya : (mengetuk pintu) Sam…Samuel…buka pintu. Ini aku…Elisya. (Pintu terus digedar-gedor) Sam… Samuel.
Samuel : Hey… Elisya. Ada apa? Sekarang sudah larut malam. Kenapa tidak telpon dulu. Aku kan bisa ke tempatmu.
Elisya : Begini Sam.. a…a…..aku…mau memberitahu kamu. A..a…aku hamil.
Samuel : Apa?!! Kau sudah gila ya?! Aku kan sudah bilang sama kamu aku sudah beristri. Kita sudah sepakat tidak ada yang namanya kehamilan! Kita sudah bicarakan itu. Aku tak mungkin menikahimu Elisya! Begini…begini…besok...aku akan datang ke tempatmu. Aku akan memberi kamu sejumlah uang untuk biaya pengguguran kandunganmu.
Elisya : Tidak …tidak Samuel aku tak ingin uangmu. Aku ingin anak ini punya seorang ayah. (sambil memegang perut).
Samuel : Apa kamu bilang?! Kamu tak ingin uangku. Lantas apa yang kamu mau?!!!!! Jelas-jelas kamu tahu aku sudah menikah. Kenapa kamu mau saja dibawa-bawa olehku? Begini...aku serius. Ini uang (setelah membuka dompet) untuk biaya semua-muanya….
Elisya : Bajingan!! Pergilah ke neraka dengan uangmu Samuel….(uang jatuh berhamburan. Elisya lari meninggalkan Samuel sambil menangis).

(Layar tertutup.Terdengar isak tangis kekecewaan, penyesalan, dan pertobatan. Terdengar juga isak tangis penyangkalan. Tersingkap Elisya dan Imanuel dalam ruangan yang berbeda. Elisya berlutut menangis, berdoa memohon ampun. Imanuel menangis dengan penuh kebencian. Imanuel dan Elisya teringat masa lalu waktu mereka masih bersama teman-teman dan keluarga. Layar kembali tertutup perlahan-lahan. Suara tangisan terus berdengung).

Scene 7
(Layar terbuka)
Sewaktu masih SMA, Imanuel dan Elisya ternyata saling mengenal dengan baik. Bahkan mereka pernah berpacaran dan saling mencintai satu sama lain. Inilah sedikit kisahnya….
Imanuel : Elisya...tahu tidak kalau setiap saat kita bertemu aku selalu memotret kamu?
Elisya : Emangnya kamu punya kamera digital atau HP yang ada kameranya? Kapan beli HP baru?
Imanuel : Aku tak punya HP. Tapi aku selalu memotretmu. Coba sini mendekat. (sambil memegang kedua lengan Elisya)Sekarang pandang kedua mataku. Ada foto kamu kan?
Elisya : Imanuel….!(Elisya sebel dan mengejar untuk memukul. Elisya terus mengejar namun Imanuel tak terkejar. Terus menghindar. Mereka berdua akhirnya kelelahan. Keduanya tertawa. Percakapanpun berlanjut. Elisya duduk disamping Imanuel dan bersandar di bahu Imanuel).

(Layar tertutup perlahan-lahan. Percakapan tetap berlanjut. Hanya suara. Setelah layar tertutup, panggung diatur seperti semula. Kostum diganti. Seperti saat mereka sedang menangis).
Imanuel : Elisya…sebentar lagi kita lulus. Aku tak sabar lagi. Setelah lulus nanti aku akan langsung mendaftarkan diriku ke fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Aku ingin terjun ke dunia politik. Aku ingin menjadi politikus yang bermoral. Terlalu banyak hal yang tidak beres di republik ini. Apalagi di daerah kita. Para penjabat terlalu banyak berjanji. Tapi realisasinya hampir tak terlihat. Mulut besar mereka tak sebesar realisasi programnya.
Elisya : Kalau aku lain. Aku mau langsung kerja saja. Capek belajar terus. Aku ingin kerja supaya bisa kaya dan menikmanti hidup. Hidup ini kan singkat. Vita brevis. Jadi, aku ingin cari uang yang banyak supaya bisa tinggal di rumah megah, bepergian dengan mobil mewah, dan memiliki tabungan di bank untuk menjamin hari tua. Itulah hidup sebenarnya. Kita kan hanya hidup sekali.
Imanuel ; Terus…kamu hidupnya dengan siapa? Sendiri? Kok dalam ceritamu tadi, namaku tak disebut-sebut sama sekali.
Elisya : Oh iya…ya… Maaf hahahahaha…

(Alunan lagi sedih terdengar lagi. Layar terbuka perlahan-lahan. Tersingkaplah Elisya dan Imanuel dalam ruangan yang berbeda. Setengah-setengah memperoleh kesadaran dari lamunan masa lalu. Setelah cukup lama, layar ditutup kembali).


Scene 8
Sudah cukup lama orang tua Elisya tak mengetahui keberadaan Elisya. Mereka menjadi sangat khawatir. Elisya pernah mengirimkan surat sehari sebelumnya bahwa dia sangat menyesal tak mendengar nasihat orang tuanya dulu. Dia mengaku bahwa dia kini hidup dalam dosa dan telah membuat malu keluarga.
Sedangkan Imanuel, kekecewaannya cukup mendalam dan terasa tak sanggup untuk dipikulnya. Dia tak punya keluarga lagi. Kedua orang tuanya meninggal seminggu yang lalu. Adiknya, Darius, pergi meninggalkan dia. Dia sendiri. Dia putus asah dan tewas dalam kecelakaan motor. (Terdengar suara ngebut dan tabrakan motor yang sangat keras). Dia sengaja buruh diri karena tak sanggup menerima kenyataan ditinggalkan oleh semua orang terdekatnya.

(Layar terbuka. Tampak dalam adegan berikut Elisya dijemput oleh keluarganya. Mereka tak menyalahkannya atas apa yang sudah terjadi. Keluarga sudah memaafkannya. Keluarga sudah cukup tegar menerima. Kebahagiaan terpancar dari pertemuan itu. Kebahagiaa n sejati sangat jelas terlihat). Tamat.

1 komentar:

ano apdulah mengatakan...

pepende JoWwWW Ngana ADA bEKeNg iNi TiNiAWaNgKo,.,.,.,.HAHAHAHAHAH darI APPduLraHmaN NAiDi,.,.,.