Minggu, 16 Mei 2010

BAYANG BAYANG


Sebuah cerpen oleh:

ISWADI SUAL

” Tidak ... aku tidak mau mati muda,” teriak Lino dengan mata yang hampir tertutup karena darah yang mengalir di wajahnya. Sekelompok mahkluk pembantai manusia menawannya dalam gelap. Aku tidak dapat melihat mereka dengan jelas... hanyalah bayang-bayang hitam yang terpampang di dinding karena cahaya dari sela-sela pintu yang memperjelas keberadaan mereka. Aku melihat dari kejauhan dalam elap ke arah dimana Lino terbaring mennyampingkan tubuh. Darahnya menetes bagai detik-detik waktu serta desahan nafasnya yang seakan meminta agar dibebaskan. Orang-orang yang terbungkus jubah hitam itu terus menyiksanya walaupun sudah setengah mati.
Tiba-tiba cahaya dari pintu bersinar erang sehinggga semua mata tertujudan terhenti pada pintu itu. Cahayapun perlahan-lahan berubah menjadi warna merah dan ketika mata berkedip, secepata kilat cahaya telah menjadi biru. Mata kami terus terpaku pada cahaya itu dan cahaya itu perlahan pudar seakan malu oleh tatapan kami sehingga berubah menjadi cahaya hitam. Lino yang menganggap tadinya bahwa cahaya itu bisa menjadi harapannya tiba-tiba mengamuk karena suasana hening dalam kesiksaan membuat hilang harapannya. “ Cahaya... tolong hapuskan bayang-bayang yang menyiksa ini.” Teriakan Lino yang histeris membuat ruangan hitang diisi dengan gaung suaranya.
Dari balik pintu terdengar suara detak-detak sepatu yang membuat suasana sunyi. Gagang pintu terdengar diputar oleh seorang dari balik pintu. Tiba-tibapintu terbuka serta cahaya msuk dari pintu. Cahaya kali ini tidak seperti cahaya yang sebelumnya, ia lebih putih tajam dan menyilaukan mata. Aku tak bisa melihat benda selain gambar hitam seorang yang berada di tengah-tengah cahaya dan mataku perih dalam sinar putih ini.
Desahan nafas serta suara minta tolong dari Lino terlepas dan terus-menerus membesar sehingga menjadi teriakan histeris kembagli yang menusuk telinga. “ Hey...hey...bangun!” kakakku berdiri disamping komputer dan menggerakkan kepalaku berusaha menbangunkan tidurku. “ Ini sudah jam empat pagi, kamu harus sekolah.” Perlahan kuangkat kepala dan berpikir sejenak tentang kejadian semalam. Tapi aku terhenti karena kakakku sudah membayar ongkos warnet dan mengisyaratkan untuk bergegas pulang.
Dalam perjalanan pulang tatapan wajah kakakku seakan aneh dan sepertinya ada semacam secret. Tapi sebelum aku tanyakan padanya, ia lebih dulu bercerita. “ Aku baru menerima telepon dari Jakarta semalam waktu kamu sedang tidur... bahwa saudara kita, Lino, meninggal karena kecelakaan motor.” Mendengar itu raut wajahku mulai berubah dari penasaran menjadi kesedihan dengan sedikit tanda tanya tidak percaya.
***
Kematian Lino yang tragis itu yang beritanya terlambat kami dengar; ternyata terjadi seminggu yang lalu dan suda dimakamkan. Aku sangat menyesal tidak menghadiri pemakaman seorang sahabat sebaya yang selalu menawarkan untuk menumpang naik di atas motornya ketika aku pulang berjalan sendiri dalam gelap. Bayangan wajahnya selalu muncul dalam pikiranku seperti foto hidup yang sedang tersenyum.
Tiga hari sesudah mendengar berita itu aku cukup berani tidur sendirian di dalm ruangan di sudut kampus deka WC dan pohon-pohon rimbun dan besar.
Aku masih bersekolah tinggal dengan kakakku yang kebetulan seorang mahasiswa. Kami tinggal di sini atas persetujuan dari pihak kampus.
Malam itu seperti kebiasaan, tidur sekitar jam 12 karena membaca-baca buku, aku dalam tidurku yang tak berselimut seakan kau. Tuuhku tak bisa digerakkan tapi pikiranku tetap bekerja. Aku seperti diikat dan dipegang oleh bayangan yang mencekik leherku. Dalam tidur. Aku berusaha melepaskan beban ini dengan mencoba berteriak tetapi tak bisa bersuara. Mencoba adalah cara satu-satunya membebaskan ikatan ini. Dan akhirnya pun aku bisa lepas dan bernapas bebas. Aku melihat sekeliling ruangan yang ada hanyalah dinding yang ditempeli poster dan jajaran buku yang diatur di atas meja. Aku memutuskan untuk tidur kembai dan berharap tidak ditemani bayangan penyiksa sampai matahari mengikis gelap.
Seminggu sesudahnya, masih di dalam ruangan di sudut kampus sore hari pikiran berubah-berubah tak tentu apa yang harus dipikirkan. Dari jauh terdengar detak-detak sepatu dan sentakkan setiap langkah menghentikan aktifitas di sekitar. Langkah-langkah ini selalu tergesa-gesa dalam setiap sentakkanya dan berakhir di depan pintu kamarku. Ketukan dari luar terdengar kasar dan tidak akrab seakan tak punya sabar. Dengan penasara dan emosi yang memuncak aku melangkah menuju pintu dan seera membukannya. “ Baru bangun dari tidur? Mana kakak kamu?” Sosok seorang yang berdiri di depanku ini yang segera mengajukan pertanyaan mengingatkanku pada mimpi sebelumnya yang adalah bayangan hitam di tengah-tengah cahaya. Orang ini segera masuk dan menurunkan beban di atas pundaknya. Lelaki ini wajahnya agak keriput serta rambut yang sudah semakin jabis di bagian depan dan pakaian tua yang kusut karena tidak disetrika membuatnya tampak tua sekali.
Aku mencoba menyadaran diriku dari pengaruh mimpi dan mencoba mengenali masalah baru ini. “Ayah kira kau sakit. Makanya ayah datang mengunjungi sekaligus membawa beras untuk mengurangi pengeluaranmu di sini.” Kata-katanya membuatku perlahan sadar dari pikiranku yang bercampur bimbang dan deja vu. Pikiranku pun teruka dan mengenali bahwa ia benar-benar ayahku. Kami berdua mengobrol sambil menunggu kepulangan kakakku. Dia selalu ingin bertemu dengan anak sulungna itu ketimbang aku. Itu karena sifatku yang tidak cocok dengannya. Dalam pembicaraan kami yang semakin menegangkan tentang kecelakaan yang dialami Lino, tiba-tiba pintu yang tidak dikunci perlahan didorong sehingga kelharan tubuh kakakku yang ceking dan tinggi bada yang minimum. Kakakku terkejut dengan kedatangan sang ayah dan segera berbincang-bincang. Esoknya ayahku kembali pulang ke kampung.
Kesibukan kakakku yang membuat jarang pulang dan kedatangan ayahku yang cepat berlalu membuat kesunyian berteman denganku lagi.
Pada hari jumat kira-kira jam 3 sore aku teringat akan adanya latihan teatr sebagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Latihan ini mengasyikan sehingga tak terasa telah menghabiskan waktu berjam-jam. Saat itu latihan berakhir sampai malam dan semua peserta latihan cepat-cepat pulang karena takut dimarahi orang tua. Aku yang tak peduli akan waktu pulang, pada saat itu memberanikan diri untuk pulang jalan kaki dan kebetulan karena ulan purnama sehingga jalanan terang. Jarak dari sekolah ke tempat tinggalku cukup jauh, kira-kira 500 m, dan harus melewati perkebunan.
Aku mulai berjalan melangkah pulang dengan sebatang rokok yang baru dibeli dari warung di penggir jalan. Dalam kesunyian dan ditemani bayang-bayang pohon di jalan oleh karena cahaya bulan, ku terus melangkah. Dan ketika api rokok sudah hampir menyentuh filter, aku terhenti karena di depanku kira-kira jarang 5 m berdiri seseorang yang membelakangiku. Aku sepertinya mengali gaya itu, ku pikir dia kakakku... tapi aku masih ragu karena belum melihat wajahnya. Aku sedikit senang karena puntung rokok sudah habis dan tidak dilihat kakakku. Sementara aku berpikir, orang ini perlahan melangka dan aku mengikutinya dalam tanda tanya. Apakah dia kakakku atau orang lain yang mirip atau pikiranku yang salah menilai sosok ini? Semakin lama langkahnya semakin cepat dan arah tujuannya sama denganku. Aku ingin memastikannya bahwa itu kakakku dengan memanggil namanya agar dia berpaling memperlihatkan wajahnya. Tapi pikirku lebih baik buat kejutan sesampai di depan pintu kamar nanti.
Langkahnya semakin cepat dan aku berjalan sudah setengah berlari dan ku pikir dia mengetahui ada orang yang sedang mengikutinya. Maka, ku tetap jaga jarak agar dia tidak curiga. Ketika jarak antar tujuan denganya kira-kira 10 m dan jarak aku dengannya sudah amat jauh (kira-kira 20 m), penglihatan atau pandanganku kepadanya mulai kabur karena cahaya bulan terhalang awan, nampaknya akan hujan.
Hujan rintik-rintik pun turun dan aku sudah tidak melihatnya lagi. Aku pikir dia sudah membuka pintu dan sudah menerobos masuk ke kamar. Ketika aku sampai di depan pintu, ku melihat pintu terkunci dari luar-karena menggunakan gembok. Rintik-rintik hujan berhenti dan cahaya bulan pun muncul kembali. Kepalaku mulai terasa membesar dan badanku menjadi ringan ketika cahaya blan menampakkan bayangan hitam di depan pintu. Yang pasti bayangan itu ada oleh karena ada sesuatu yang berbentuk badan manusia berdiri di belakangku. Dan tiba-tiba tubuh bagian belakangku menjadi dingin dan kurasa ada semacam jari-jari dan kemudian telapak tangan memegang pundakku dan cepat-cepat memutarkan badanku. Yang ku lihat adalah seorang berjubah hitam tanpa wajah dan mengatakan, “ Sudah waktunya kau berpulang,... kau pendosa!” “ Tidak!... aku tak mau mati mudah!”
Kemudian tamparan bertubi-tubi di pipiku membuatku terbangun. “ Apa yang terjadi dalam khayalmu? Kau tampak pucat,” kakakku berkata dengan nada setengah mengejek. Aku hanya menatapnya heran dan bingung dengan apa sebenarnya yang terjadi. Apakah ini nyata atau hanya bayang-bayang?

Catatan: cerpen ini disitir kembali dari buku catatan sekolah.

Tidak ada komentar: