Jumat, 14 Oktober 2011

PENGORBANAN SANG RATU

SEBUAH NOVEL
Oleh Iswan Sual
Aku diberi nama Ratu. Tak tahu pasti alasan orang tua berkenaan dengan keputusan penamaan diriku. Aku belum sempat menanyakannya. Mungkin orang tuaku berharap suatu saat nanti aku menjadi seorang ratu seperti dalam kisah Cinderella. Umurku kini 9 tahun. Aku sudah sedang duduk di bangku kelas 3 SD.
Walaupun badanku kerempeng tapi aku tergolong siswa yang cerdas di sekolah. Di samping itu wajahku jelita. Aku sangat beruntung dengan anugerah Tuhan yang indah itu.
Kecerdasan dan kejelitaanku terwarisi secara genetik dari kedua orang tuaku. Papa dan mama, kedua-duanya berkulit terang. Ayahku mewarisi darah Tionghoa dari kakek. Ibuku juga cantik. Dia mewarisi darah portugis dari ayahnya. Ibuku selalu juara kelas sewaktu masih di SD sampai SMK. Tak heran kalau aku juga memiliki kelebihan-kelebihan luar biasa seperti dia.
Aku sangat dimanjakan oleh orang tuaku sedari lahir. Semua yang aku butuhkan senantiasa dipenuhi. Tak pelak kemasan-kemasan produk supermarket masih membanjiri pilatu rumah kami. Sengaja tidak dibuang sebab aku suka dengan kemasan-kemasan itu.
Saat aku berumur 2 tahun aku sudah cerewet dan pintar menghafal lagu-lagu yang diajar mama dan nenek. Mereka terkagum-kagum dengan kelincahan dan kelucuanku. Aku sering dibelikan bermacam snack sebagai hadiah. Tingkahku, menurut mereka, begitu menghibur.
Setiap pulang kerja, papa selalu memelukku dengan bonus-bonus kecupan manis di pipi dan dahiku. Sulit menggambarkan kesenangan yang disuguhkan papa itu.
Papa adalah seorang tukang. Dia adalah pekerja terampil. Berbondong-bondong orang datang ke rumah meminta papa untuk membangun rumah, pagar, gedung perkantoran, dan lain sebagainya. Papaku, sering kelabakan dengan berbagai tawaran yang begitu banyak.
Dalam hal pertukangan, ayahku serba bisa. Dia mampu mengerjakan keterampilan perkayuan juga pengecoran. Keahlian ayah tersebar di seluruh kampung. Bahkan sampai kekampung tetangga. Padahal dia hanyalah warga pendatang di kampung kami.
Setelah menikah dengan mama mereka bersepakat menjadikan Tondei sebagai tempat kediaman dan ladang pencaharian keluarga. Sehari ayah bisa membawa pulang sebanyak Rp. 200.000. Darah Tionghoa yang mengalir dalam tubuh ayah adalah berkah. Aku bangga dengan ayahku. Dia mewariskanku mata sipit dan rambut tebal nan lurus. Untung aku perempuan, jika saja aku lelaki, sudah tentu aku setegak, setinggi dan seganteng ayahku.
Keluarga kami masih seumur jagung namun berkat keuletan ayah, kami boleh tinggal dalam rumah besar dengan kamar-kamar yang semuanya berjumlah 3 buah. Rumah kami telah penuh sesak dengan perabotan mewah dan barang elektroknik.
Ibuku adalah wanita penyayang suami dan anak. Dia melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Sarapan pagi bagi ayah dan aku selalu tersedia sebelum ayah berangkat kerja dan aku berangkat sekolah. Pokoknya, di tangan mama, semua dijamin terurus dengan baik.
Pendidikanku sangat penting bagi papa dan mama. Memberikan teladan bagaimana bersikap dan bertingkahlaku. Ketika menghadiri acara-acara, kami bertiga selalu kompak. Setelan pakaian batik yang bercorak sama kami kenakan saat terundang dalam setiap acara pernikahan, ulang tahun dan lain yang semacam.
Setiap hari minggu aku selalu diantar secara bergilir oleh papa dan mama. Mereka amat memperhatikan pendidikanku di usia dini. Terutama pendidikan karakter. Belum lagi masuk TK, aku sudah bisa membaca dan hitung-menghitung. Mama, dengan semangat, mendaftarkan aku ke lembaga kursus ternama. Aku dijejali pelajaran bahasa Inggris dan sempoa. Pelajaran-pelajaran ku lahap dengan rakus. Sampai-sampai, orang kampung menjuluki ku bayi ajaib bahkan bayi jenius. Istilah yang tak begitu aku suka. Aku tak ingin kata bayi ditambah didepan kata genius. Aku bukan bayi lagi. Walaupun begitu, rasa percaya diriku meningkat. Tak jarang mama dan papa sering memintaku memamerkan kebolehanku di hadapan saudara-saudara dan tamu-tamu yang datang berkunjung ke rumah.
Mama sangat yakin aku anak dengan segudang talenta dan potensi. Diapun dengan rajin memberiku pelajaran tambahan di rumah. Keinginan kuatnya begitu besar untuk menjadikanku seorang anak yang mahatahu. Aku menurut saja pada mama. Aku belum memahami apa yang ideal atau yang tidak bagiku. Semua itu kulakukan dengan senang sebagai imbalan terhadap kasih sayang mereka yang tak henti-hentinya, walaupun kadang sedikit berlebihan.
Aku membuat anak-anak lain irih. Keakraban dan keintiman dalam keluarga menjadi bahan pembicaraan di kampung. Seakan-akan kami sedang dijajaki untuk dianugerahi gelar The Family of the Year oleh sebuah majalah Amerika serikat. Wah…hidup kami terasa sempurna.
Namun segalanya berubah ketika papa dan mama bersepakat menggadaikan beberapa bidang tanah yang luas ke pada bank. Padahal, itu adalah budel pemberian kakek di Motoling. Tak pernah, kami duga keputusan yang mereka ambil sungguh berakibat fatal.
Karna pasang surutnya orderan jasa ayah, pendapatan keluarga jadi tak menentu. Pinjaman, atau katakanlah itu utang, di bank membengkak. Bunga makang bunga. Uang yang diambil papa dan mama dari bank tak sanggup lagi dikembalikan. Terasa hanya mimpi. Semuanya berubah 180 derajat.
Aku sendiri, awalnya tak habis pikier dengan alasan papa dan mama meminjam uang dari bank. Papa dan mama ternyata, selama ini tidak puas dengan apa yang telah mereka gapai. Ternyata mereka punya rencana yang lebih besar. Rencana yang secepat kilat mau diwujudkan. Mereka berkeinginan kuat membeli rumah super megah di salah satu kawasan elit di Manado. Padahal bank itu adalah laksana orang yang meminjamkan payung saat hari cerah, dan memintanya kembali kalahari hujan sangat derasnya.
Sikap mama dan papa telah menjadi suram. Laksana padang pasir gersang yang membentang luas. Temperamen mama dan papa kini berubah dari lemah lembut menjadi galak dan kasar. Tak jarang kata-kata tak pantas meluncur begitu saja dari mulut mama. Dulunya lagu-lagu pembangun rohani yang terlantun dari CD player kami. Sekarang mama dan papa telah berganti aliran. Kehidupan surga yang selama ini begitu meninabobokan kini berganti kehidupan seperti di neraka. Sungguh sangat kontras yang terlampau kentara!
Pagi-pagi sudah dimulai dengan lagu berjudul; “jangan kau tuduh aku”, “mengapa kau selingkuh?” Siangnya “burung bajingan”. Malamnya “lebe bae bacere.” Kondisi ini sangat mempengaruhi jiwa dan perilakuku. Maklumlah aku maisih anak-anak yang polos dan lugu. Bak kertas putih.
Lagu-lagu orang dewasa menjadi begitu akrab ditelingaku sekarang. Lagu sekolah minggu semakin menghilang dari ingatanku. Aku tak pernah lagi diantar ke gereja. Mereka sibuk dengan perasaan mereka masing-masing. Kadang aku merasa mama dan papa tak lagi sayang dan peduli padaku. Aku jadi malas makan, malas bagun pagi dan malas ke sekolah. Tapi soal makan, mereka masih sangat peduli. Mereka selalu mempersoalkan apakah tubuhku telah diisi atau belum. Tapi mereka bahwa jiwaku juga butuh makanan.
“Ratu, so makang ngana?!”1
“Masih kenyang e mama.”
Aku dulu yang tak berani berdusta kini terbiasa karena menghindari apa yang namanya makan. Aku lebih suka makan snack. Tak heran badanku semakin ceking bak seorang anak yang menderita busung lapar.
Mama marah-marah karena aku kedapatan membuang makanan dengan sengaja.

“Ratu! Kyapa ngana buang tu nasi?”2 bentak mama. Matanya ku serasa mau keluar. Tapi aku tahu itu hanya gertakan saja. Tidak mungkin dia tega memukulku hanya karena membuang makan. Aku anak satu-satunya. Aku adalah kebanggaan mereka. Tak mungkin sesuatu yang buruk akan mama lakukan.
Besoknya aku ketahuan lagi karena membuang makanan.
“Ratu! Ontak apa ngana? Buang-buang makanan….ngana kira tu nasi cuma ja punggu di got?!3
“Ratu nda buang e mama. Anjing kwa ini da nae di meja kong loku ta pe piring.”4
Kini Ratu semakin lihai mengarang-ngarang alasan.
Mamanya percaya saja.Ibu berpikir bahwa bisa saja dia memang khilaf.Mungkin hanya pikirannya saja yang menyangka anaknya melakukan yang tidak-tidak.Mamanya mengakui, dalam diam, bahwa pikiranya memang ngelantur karena sedang kacau.
Hari berikutnya Ratu melakukan lagi kesalahan yang sama. Tanpa disengaja mamanya melihat dia sedang memberikan makananya
Kepada 2 anjing peliharaan mereka di belakang rumah.Ayam-ayampun ibu berebut mendengar punya piring walaupun sudah diusahakan pelan.Padahal belum sesendokpun masuk dalam mulutnya.
“Setang ngana. Skarang apa ndigana mo bilang?”,5 teriak mamanya dari jarak yang tak berapa langkah jauhnya. Sambil memegang batang sapu dia mulai memukul.“ Cuki ngana. So siksa orang tua ja mancari ngana seenaknya kase pa binatang tu makanan. Ontak binatang ngana! So jago ngana badusta pa orang tua e!!”6
“Paf!!!!!!!! Buk!! Pakkk!!”
Ratu kaget dan berteriak-teriak historis memohon ampun.Ibunya terus mengayunkan batang bulu taki yang keras ke badan Ratu.
“Ampung mama…ampung mama…..ampuuuuuuung.mama…mama..ampung kita.”7
Berkali-kali daging berbenturan dengan daging dan tulang yang menonjol keluar. Mama terus memukul. Dia lupa bahwa aku hanya seorang balita.Batang sapu patah menjadi 3 bagian. Aku terhempas ke sudut kamar dan terisak sesendu’ang. Ratu belum percaya sepenuhnya dengan apa yang baru saja dia alami. Dia begitu terhenyak dengan apa yang baru saja dia saksikan.Dulu mama adalah induk domba yang selalu memberi kehangatan. Sekarang aku adalah anak domba dalam liang induk serigala yang mulai mencabik-cabik. Tak tahu kapan aku nantinya akan jadi santapan.
Mama berhenti saat basah berpeluh hebat. Dia juga tampak kelelahan telah melampiaskan rasa stresnya karena dikejar-kejar pegawai bank yang setiap hari datang menagih. Sisa tangisan masih ada ketika ayahku tiba.
“Kyapa e?”8 tanya papa penasaran dengan apa yang baru terjadi.
Belas kasih menyelimuti papa ketika melihatku tak berdaya meringkuk di pojok. Di dekatinya aku memastikan keadaan yang sebenarnya. Aku tak berani mengeluh. Takut situasi tambah buruk. Sambil menoleh ke mama diapun bertanya lagi.
“Yunita, kyapa karu tu anak ngana so se biru-biru bagini e? Masih kecil ngana so ja labrak sama deng orang besar.”9
Perkataan papa cukup memberikanku gambaran seperti apa ku sekarang. Tak berani aku melihat pertengkaran yang sebentar lagi akan membara.
“Badia di situ ngana, John! Kalu perlu deng ngana kita mo se ancor.”10 Jawaban mama terdengar begitu kasar. Sungguh memuat papa merasa pedih. Papa berusaha menguasai diri. Keadaan lelah usai kerja seharusnya membuat dia layak memperoleh sambutan yang menyejukkan hati dari sang istri. Ayah berusaha bersabar. “Mungkin dia hilaf lantaran lala kerja di rumah,”kata papa pada dirinya sendiri meyakinkan bahwa setiap orang dalam keadaan lelah atau stres kadang-kadang memunculkan tanggapan yang tak terkendali. “Wajarlah”.
Aku berharap malamnya semua akan kembali seperti semula. Papapun berharap begitu. Papa kini mulai masuk kamar dan mulai merayu mama seperti biasa dilakukannya untuk memecah kebekuan. Tapi, mama hanya memberikan tanggapan dingin. Kulihat papa mencoba lagi. Ini demi keutuhan rumah tangga dan demi mengembalikan keselarasan yang sedikit memudar di sore tadi.
“Jang baba dekat pa kita ngana!” Sungguh…reaksi ini tak pernah diharapkan baik oleh papa maupun aku. “Kita nda suka ngana pe cara tadi. Kita nda suka ngana kendo’o cari muka di muka pa anak.”
“Sapa yang cari muka.” Kini papa angkat bicara. “ kita Cuma kase inga pa ngana tu nda bagus yang da beking pa anak. Ini demi torang pe kebaikan.”
“Luji deng ngana. Setang. Tidor di luar ngana! Jang badekat.”
Mendengar papa dan ibu mulai perang mulut lagi aku menutup telinga. Namun suara makin keras menjangkau sampai rumah-rumah tetangga. Pelan-pelan aku keluar dari rumah kami dan satu langkah demi satu langkah mengarah ke rumah kakek dan nenek yang berjarak kurang lebih 20 meter. Kakek nenek ternyata juga telah mendengar apa yang sedang berlaku di rumah kami. Tadi hanya suara. Kini terdengar benturan perkakas rumah menyentuh lantai dan dinding.
“kyapa re’e tu di rumah pa ngoni, Ratu?”, Tanya nenek.
“Tau kasana,” jawabku kesal bercampur malu. Mencoba menyembunyikan aib keluarga namun aku tak pandai memberi jawab pada pertanyaan semacam itu. Nenek dan kakek tahu perasaanku. Merekapun mengalihkan pokok pembicaraan pada hal-hal lain. Kakek yang humoris mulai bicara. Dia senang bertutur mengenai cerita rakyat di kampung kami. Ada cerita tentang si Hero yang mati Sembilan hari, ada juga legenda asal muasal tetewatu, cerita epos tentang mawale dan kaitanya dengan tugu Lutau dan lain sebagainya. Dalam keadaan gundah sekalipun aku dapat dibuat kakek tertawa. Dia memang tipe manusia dengan kecerdasan linguistic yang hebat. Dia mampu berbicara berjam-jam disertai gerak-gerak teatrikal yang membuat orang yang benar tegang dan terkeke-keke karena kejenakaan ceritanya. Banyak orang, walaupun sebenarnya jenuh dengan cerita-cerita yang sudah diulang-ulang, terkagum-kagum dengan keterampilan bertutur kakek saya. Gara-gara itu, kakek dijuluki sebagai si Hans Flasgordon.
Tak terasa, malam semakin larut. Pertunjukkan teatrikal kakek telah usai. Aku yang sudah sedikit merasakan kantuk mohon diri pulang kerumah. Kakek dan nenekpun tak berusaha menahan. Karena takut kegelapan aku berlari menuju rumah. Papa berbaring di sofa. Di kamar ibu telah tertidur sendirian. Aku tak tahu bagaimana akhir cerita dari pepeperangan mereka. Aku keluar kamar lagi sambil membawa selembar kain untuk papa sebagai selimut. Kasihan papa. Aku tak mau dia nanti kedinginan. TV masih saja bicara-bicara sendiri. Ku tekan tombol on/offnya. Karena tinggi tempat colokannya ku naiki meja kecil dan menarik kabel colokan. Malam ini hujan turun. Guntur mulai menggemuruh. Kilat-kilat kecil mulai berdatangan. Mama selalu berpesan untuk mematikan semua peralatan elektronik saat dalam keadaan seperti sekarang ini. Setelah semua tampak beres, aku menuju kamar dan merebahkan diri di samping mama. Aku tak berani tidur sendirian dalam kamarku dalam cuaca begini.
Besoknya aku terbangun saat sudah pukul 06.30. Waktu itu tape deck sudah mengeluarkan lantunan-lantunan putus asah dan pengeluhan. Sungguh tak sesuai dengan harapanku semalam. Sungguh tak baik memulai hari dengan pesimis. Lagu-lagu yang terdengar sama dengan beberapa hari terakhir:” jangan kau tuduh aku”. Seingatku itu adalah lagu grup band bernama Wali. Kemudian ada lagu yang berjudul “ mengapa kau selingkuh”, “pulangkan saja aku pada orang tuaku”, “burung bajingan”, “lebe bae bacere”. Daftar lagu itu sepertinya sengaja menjadi pilihan dan kesayangan orang tuaku sekarang ini. Padahal, seharusnya lagu-lagu memotivasi yang layak didengar dalam situasi seperti ini.
Sadar atau sadar, lagu-lagu itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Tak tahu pasti kenapa mama papa lebih memilih lagu-lagu seperti itu. Padahal, dulu, setiap pagi aku selalu mendengar lagi religious atau lagi-lagi optimis dari Ebiet. Aku paling suka kalau yang diputar adalah lagu koleksi untuk anak sekolah minggu. Cocok untuk usiaku. Lagu-lagu yang penuh dengan suasana bermain.
Hari-hari berikutnya sama saja. Malahan semakin parah. Papa kini sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Berkali-kali papa ingin berdamai tapi selalu ditolak. Sekarang mereka tak lagi tidur seranjang. Seperti biasa, papa di sofa. Mama di koi kamar.
Satu malam karena tak tahan dengan situasi yang makin besae, papapun memaksakan diri untuk tidur sekamar dengan mama. Dia berusaha mengeluarkan jurus-jurus pamungkas untuk meluluhkan hati mama. Tapi mama berang karena papa sudah dalam keadaan setengah sadar setengah teler. Karena hal itu, perang mulutpun pecah di tengah malam. Mereka tak peduli lagi dengan keadaan sekitar.
“Yunita, kyapa ngana so ta roba skali bagi e? Apa kita pe salah? Kalupun kita salah so nda re’e mo dapa maaf so?”
“Jang tanya! Kyapa le ngana tiap malam kaluar deng pulang-pulang amper siang?” mama balas bertanya tak ingin kalah.
“Mo bagimana kita? Di rumah nda ada kesenangan. Tiap pulang kerja bukang ngana sambut bae-bae: sirang akang kopi, malah ngana bajalang baron-ron kampung. Kita nda snang ngana korang bergaul-gaul deng ABG! Ngana musti sadar Yunita; ngana itu so tanta bukang lagi cewek. So ba stel, artis kala”
“apa ngana bilang?! Ngana bilang kita baron-ron. Ngana anggap kita perempuan lonte. Asal jo ngana. Kong ngana apa. Laki apa tu pulang so pagi? Bukang lonte tu bagitu? So sama kwa. Udang deng ketang kalu bakar sama. Ne, jang bicara kalu ngana lebe soe.”
“Beda. Kita laki-laki. Ngana perempuan.”
“Cuki deng ngana. Karena ngoni laki-laki kong sambarang beking ngoni pe mau. Pemai deng ngana! Ngana bilang kita le nda ja layani pa ngana? Oh io nanti ngana lia kalu kita mo se momasa lagi for ngana.”
“Yunita, coba kwa bicara bae-bae.”
“Bicara bae-bae, lawut deng ngana. Ngana kira kita ngana pe pembantu. Kita mo tanya pa ngana: kyapa kendo’o ngana so nda pernah kase doi pa kita na.”
Perdebatan terus berlanjut. Rasa banggaku pada kedua orangtua lululantah sudah. Wibawa mereka tak ada lagi.
Aku sebenarnya hanyalah anak yang belum cukup umur untuk memahami persoalan rumit dan pelik dan menimpa keluargaku. Usiaku belumlah cocok dan siap menghadapi terpaan ini. Seharusnya, masa kecilku dilalui dengan riang gembira dan sarat dengan curahan kasih sayang. Terlalu berat buatku memikirkan dan menghadapi konflik antara mama dan papa. Bagaikan konflik Israel dan Palestina yang telah berlarut-larut tanpa ada jalan keluar menguntungkan kedua belah pihak. Hari demi hari korban berjatuhan. Nyawa melayang setiap saat. Sungguh memilukan!
Lama kelamaan kelakuan mama dan papa mulai berubah. Sifat-sifat baik telah lari dari mereka. Papa kini juga sering memukulku dengan ikat pinggangnya. Setiap kali kedapatan bermain dengan anak-anak tetangga aku selalu dicerca dengan makian diikuti dengan sabet-sabetan yang terasa perih dalam daging.
Papa selalu melarangku bermain dengan anak-anak lelaki. Apalagi, gara-gara bermain dengannya aku sampai lupa makan. Memang, selera makanku tak lagi ada. Apalagi makanan seperti nasi. Aku lebih suka snack. Cepat masuk mulut dan terasa lebih enak. Makanan sampah itu yang menyebabkan badanku semakin kerempeng. Namun, tentu saja, ancaman mama dan papa sulit merubah ketergantunganku pada jenis makanan itu. Kebiasaanku bermain dengan Gerald sulit untuk dilarang. Si Gerald memang nakal, tapi hanya dialah satu-satunya temanku. Beberapa anak lain telah dilarang orang tua mereka bergaul denganku. Mereka takut anak mereka terjangkiti oleh kebiasaan kasar dari rumahku. Apalagi mama dan papa adalah tukang maki. Gerald, walaupun nakal, dia lucu dan menggemeskan. Aku selalu dibuatnya tertawa. Aku lebih bisa berekspresi dengan dia karena kami mungkin sebaya.
Aku sebenarnya juga mendapat kenyamanan dengan nenek dan kakek serta kedua pamanku yang bernama Wani dan Wady. Kehadiran kedua pamanku mampu membuat wajahku berseri-seri. Mereka juga suka membacakan dongeng untukku. Sayangnya, waktu mereka denganku sangat terbatas. Paman Wani adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di kota Manado. Dia hanya pulang sekali dalam dua minggu. Paman Wady juga sibuk. Dia apalagi. Dia hanya pulang sekali dalam sebulan.
Mama dan papa terlihat kadang-kadang insaf kalau aku kekurangan perhatian. Merkea sering memberiku uang. Dulu tidak begitu. Tak pernah mereka memberiku uang. Mereka biasa menghadiahiku buku-buku cerita. Juga membacakannya. Aku tak butuh uang. Alat tukar itu tak akan menggantikan kasih sayang dan perhatian mereka. Aku heran. Mereka memberiku uang di saat kami sedang mengalami krisis keuangan yang berat.
Dua tahun terakhir, hubungan papa dan mama tak pernah membaik. Malahan semakin jelek. Kalau pagi hingga siang mama dan teman-temannya kumpul-kumpul, bergosip dan sesekali, dalam kehebohan dalam rumah, meneriakkan kata-kata kotor karena bereaksi terhadap adegan dalam koleksi video porno yang mereka tonton dari ponsel mereka. Sore hingga malam, giliran ayah dan teman-temannya yang pesa miras dengan musik-musik super keras. Tak tahan dengan itu aku selalu menjadikan rumah kakek dan nenek sebagai tempat mencari suaka sebagai akibat dari pengabaian mereka.
Mama sangat marah dengan kelakuan ayah dan teman-temannya yang setiap malam mengotori rumah dengan muntah-muntah mereka saat tengah mabuk. Papapun balas mengeluhkan sikap ibu yang telah berubah drastik. Tak lagi menunaikan tugas kesehariannya sebagai seorang ibu dan seorang istri. Pemenuhan kebutuhan biologis ayah diabaikan. Mama sering dilabeli papa sebagai seorang istri yang telah ingkar dengan janji pernikahan.
“Brenti ngana bawa-bawa ngana pe tamang-tamang di sini setang e. Kita so pastiu.’ Serangan dilancarkan lagi. Sudah bisa diramalkan apa yang bakal jadi berikutnya.
Tak tahan dengan itu papapun tak mau kalah.
“Kyapa ngana e? pemai deng ngana.” Kali ini serangan balik ayah lebih keras. “Tegor-tegor pakita! Kong ngana?! Bini apa le bajalang deng ABG. Lala stenga mati kerja. Ngana asik gaul. So nda butul ngana no. Ngana pe kira kita nda b abaca tu sms-sms setang dari laki-laki dari mana sto ja kirim pa ngana?!
“ Mama sedikit terhenyak dengan reaksi papa.
“iyo…deri ngana so ja sangka-sangka nda-nda pa kita, nanti ngana lia. Nanti kita se butul.”
Kata-kata tak senonoh sudah membiasa di telingaku. Sungguh tak tahu lagi bagaimana aku menggambarkan kehancuran keluarga kami. Serasa sungguh-sungguh sudah di neraka. Sungguh! Keadaan ini makin menyiksaku. Mereka sungguh keterlaluan. Aku tak lagi dipandang. Aku kini tak ada lagi di mata mereka. Kenapa aku harus ada di dunia untuk menyaksikan keruntuhan demi keruntuhan.
Tak tempat lagi mencari pelipur lara bagiku. Kakek nenek sibuk dengan bisnis mereka. Mereka sedang merencanakan proyek besar. Mereka sedang mempersiapkan bagaimana menghabiskan masa tua mereka menjelang masuk ke liang kubur. Terpaksa aku harus mencari sendiri sumber kenyamanan. Aku harus mandiri. Aku harus menjari pelipur lara. Kalau tidak, lama-lama aku bisa gila dengan semua kesintingan ini. Gerald, ya Gerald. Dialah teman baikku. Bukan hanya teman. Tapi sahabat.
Aku secara sembunyi-sembunyi bermain dengan Gerald sebelum pulang rumah. Ini membuatku sering pulang kesiangan. Mama papa tak juga memperdulikannya. Hari demi hari itu aku perbuat. Aku dan Gerald bermain papa-papaan dan mama-mamaan. Kami mendramakan secara impromptu beberapa adegan yang mama dan papa lakoni saban hari. Namun, akhirnya kebiasan pulang sore ketahuan juga oleh papa apa penyebabnya.
Begitu papa melihatku masih bermain dengan Gerald, papa langsung menyeretku seperti binatang. Aku dipukulinya terus-menerus sepanjang jalan hingga di rumah. Aku berteriak minta ampun. Dia terus saja menghantamku dengan pukulan-pukulan terbaiknya. Dihempaskannya aku ke lantai begitu saja kemudian menyuruhku supaya makan. Tak berapa lama dia sudah pergi keluar rumah dengan sepeda motor. Ibu datang saat aku sudah pulih dari penganiayaan. Saat itu aku tengah bermain sendiri dengan boneka-bonekaku untuk menghibur diri. Ya…untuk menghibur diriku sendiri.
“So makang ngana?”
Belum sempat ku jawab dia nampaknya cepat tahu karena melihat tingkahku yang berusaha berkelit. Tak bisa lagi aku berbohong. Ku lihat ibu berjalan mondar-mandir seperti kerasukan. Diambilnya sapu lantai dan memukuli aku dengan batang kerasnya. Tubuhku yang terkena terasa sangat sakit. Bukan hanya dagingnya. Rasa sakit menembus tulang. Kemudian jantung. Aku berteriak-teriak seperti kesetanan. Ibu malah semakin beringas. Punggungku terasa sangat perih karena lecet-lecet dan penuh dengan lebam.
“Kyapa ngoni?” terdengar suara. Suara itu suara kakek. “Oh kasiang. Ngoni jo re’e tu mo bunung tu ngoni pe anak sandiri.” Kata kakek marah. Kini dia berdiri di depan pintu. Kakek mengangkatku perlahan. Aku telah terbujur lemah. Kehabisan kuat menahan deraan sakit. aku tak berdaya tak sanggup mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. Tak sedikitpun terlihat bahwa ibu menyesal. Dia kelihat masih geram. Belum semua rasa kesalnya dilampiaskan.
Tiga hari aku tak keluar dari rumah kakek dan nenek. Aku teramat takut melihat kedua monster yang secara bergantian hampir membunuhku di hari yang sama. Tubuhku masih menggigil mengingat keberingasan mereka. Aku akui bahwa aku kadang nakal. Namun aku tak pantas dididik dengan cara penuh kekerasan seperti itu.
Secara bergantian, suara kedua monster terdengar di luar kamar. Mereka meminta ijin untuk menengok aku yang hampir saja dimangsa mereka. Berkali-kali aku memang pulang pada kakek dan nenek bahwa aku takut bila mereka mendekatiku. Apalagi menyentuhku.
Seminggupun telah berlalu. Trauma telah hilang. Kepercayaan kepada orang tua kembali muncul. Aku berpikir pasti merasa sudah sadar dengan ketelodoran yang telah mereka perbuat padaku. Kini aku tinggal bersama mama dan papa dan mulai bersekolah lagi. Aku telah ketinggalan jauh pelajaran-pelajaran sekolah. Mama berusaha membantuku mengatasinya. Disusunlah jadwal belajar tambahan buatku. Aku memang ingin diajar lagi oleh mama setelah sekian lama belajar sendiri. Namun, metode ajar sekarang sudah berubah. Tak lagi seperti dulu yang mengerti kelebihan dan kekuranganku, penuh dengan dukungan juga kemakluman.
“Ratu, ngana ja taru dimana ngana pe ontak? So se ajar, kyapa ngan cuma beking bagini?” kata ibu dengan marah. Tak sempat kulihat dia masuk kamar, kini dia kembali dengan seikat lidi yang keras. Pukulan bertubi-tubi mendarat di punggungku. Aku histeris. Pukulan demi pukulan melesat tanpa meleset. Tubuhku terhempas ke kiri dan ke kanan. Tak ada pengampunan. Ini adalah lanjutan pelampiasan yang tak sempat diselesaikannya tempo hari. Aku memekik penuh derita. Kakek tak kunjung datang membawa keselamatan. Nenekpun tak datang menyeru kata kata ‘berhenti!’. Aku terisak-isak sampai kehabisan suara. Mama kini kehabisan tenaga. Peluhnya yang besar-besar jatuh ke lantai. Dendamnya tersampaikan. Kami berdua terdiam. Keheningan. Yang ada hanya keheningan. Aku tertidur. Sore berlalu. Ganti gelap datang. Udara mendingin. Tiba-tiba terdengar teriakan.
“Yunita, mana tu John?!! Kuda cuki deng dia. Se kaluar kamari dia. Babi, kaluar ngana laki-laki. Yunita…mana ngana laki? Ta mo teto pa dia!!!”
Aku terbangun. Samar-samar terdengar kehebohan. Lama-lama situasi makin mencekam. Walau tubuh terasa sakit di sekujur tubuh aku tetap nekad mencoba bangkit dan mengintip dari celah-celah dinding rumah. Di depan telah berkerumunan sejumlah besar orang. Seorang pria dewasa dengan sebilah pedang terus mengeluarkan sumpah serapah dan ancaman-ancaman.
“Yunita…bilang pa ngana pe laki , jang berani kaluar. Brani dia babayang dimuka pakita, ta potong. Sembot!!!!!! Ta bunung. Brani ngana kaluar, mati ngana!”
Mama masih kebingungan. Tak mengerti dengan apa yang sebetulnya terjadi. Dia penasaran mendengar seorang pria terus mengutuk papa, bahkan mengancam hendak membunuhnya. Dia beranikan diri keluar dan berdiri di beranda sambil mengawasi.
“Kyapa ngana bataria-bataria di muka kita pe rumah, Stevi? Cuki! Kyapa kendo’o yang mo potong kita pe laki? Lawut deng ngana!”
“Pemai…! Lawut! Ngana pe laki kita dapat riki baku cuki dengan kita pe bini di kamar mandi. Ta mo teto padia!”
Dialog demi dialog yang kudengar membuatku paham apa masalahnya. Aku terpukul. Tak tahan mengetahui ayahku ternyata ayahku seorang amoral. Pukulan batang sapu masih bisa ku tahan. Tubuh cukup kuat untuk itu. Tapi tidak dengan pukulan memalukan ini. Aku tak tahu harus ditaruh dimana mukaku. Aku takkan mampu menghadapi hari esok dengan cemooh dari teman-teman sekolah. Apalah arti mengada tanpa harga diri dan kosong kasih sayang. Sungguh berat beban yang harus ku pikul.
Besoknya, semua penuh keheningan. Ibu tak tidur sepanjang malam. Dia menangisi nasibnya yang malang dihianati suami. Dia terus-terusan menyumpai papa. Dari tadi malam tak sedikitpun dia bergeser dari sofa.
Papa kini tak lagi di kampung. Semalam dia telah dilarikan ke Motoling. Om Obrin, dengan sepeda motor, meloloskannya dari sabetan parang. Syukur dia lolos dari maut.
Hari semakin terang. Aku tak kunjung keluar dari kamar. Mama tak begitu peduli. Pada awalnya. Dia masih menangisi keadaan yang telah merundung.
Waktu terus berjalan. Jam dinding telah menunjukkan pukul 12.07. Ratu belum keluar kamar. Yunita terakhir kali mendengar suaranya kemarin sore, saat meraung-raung karena kesakitan. Yunita ingin berteriak memanggil Ratu. Dia mau marah karena pasti anak itu tak ke sekolah. Geram mulai diundangnya. Tapi suaranya telah hilang.
Dia memutuskan untuk masuk dan menyeret Ratu keluar. Begitu pintu dibuka tak ada sosok yang berbaring di atas tempat tidur…..matanya yang lelah mencoba memindai seluruh sudut kamar. Dengan samar-samar sepasang matanya menangkap sesuatu di atas kepala. Seperti ada yang melayang. Perlahan-lahan dia mendongakkan kepala……….
Tak pernah terbayang. Tak pernah terpikir apa yang sekarang dilihatnya. Puterinya yang cantik jelita tergantung kaku. Lidah menjulus keluar……
Tubuh Yunita berguncang hebat. Dia meronta-ronta dalam diam. Berusaha berteriak sekuat tenaga. Tak keluar suara.
Air mata-mata bercucuran. Kini semua sudah terlambat.
Didekapnya kaki anaknya yang dingin membeku. Dia menangis keras dalam kebisuan. Tapi semua itu tak lagi ada faedahnya.
Sehelai kertas tergeletak di atas lantai. Dia tahu itu tulisan tangan anaknya. Dia yang mengajar anaknya sehingga bisa menghasilkan goresan-goresan huruf indah di atas kertas.


Tondei, 20 Desember 2010
Buat mama dan papa,
(Dua Orang Yang Paling Ku Sayang)
Sungguh indah kenangan yang kita lalui bersama sepanjang separuh dari sepuluh tahun yang telah berlalu. Aku adalah anak yang paling bahagia di dunia saat itu. Banyak teman-temanku irih karena aku dilimpahi dengan kasih sayang dan kehangatan serta perlakuan-perlakuan kalian yang penuh dengan kelembutan.
Namun, ambisi kalian merenggut semua perhatian yang seharusnya membahagiakan kita. Keegoisan kaian telah merampas kemesraan di antara kita. Apalah artinya hidup jika kehilangan senyuman seorang ibu? Apalah artinya artinya berada di dunia tanpa belaian seorang ayah?
Berbahagialah orang yang tak pernah dilahirkan. Lebih baik tak pernah dilahirkan, daripada berada dalam dunia sambil menyaksikan segala ketidakadilan ini.
Anakmu yang nakal,
Ratu
Nb: aku janji saat kita bertemu di surge nanti, kelakuanku sudah berubah.



Rasa penasaran kakek dan nenek membawa mereka melihat kebisuan di rumah anak dan cucuk mereka. “Tak biasanya sesunyi itu”. Rasa rindu kakek dan nenek untuk bersenda gurau dengan cucu mereka mendorong mereka melangkah memasuki rumah itu.
Betapa terkejutnya merka menyaksikan cucu mereka telah terbaring tanpa nyawa. Tali pencabut nyawa masih menggantung. Tak ada yang perlu dijelaskan semua begitu terang benderang.
Sang nenek berkali-kali jatuh pingsan tak kuasa melihat sang cucu yang tak berkata setitikpun. Padahal kemarin dia masih dengan lincahnya berlari kian kemari mengejar ayam-ayam kecil untuk menangkapinya. Cucunya berkali-kali didapati mereka berbicara dengan anak-anak ayam itu.
Tahulah sang nenek bahwa anak ayam itu lebih dipercaya sang cucu untuk mencurahkan isi hati, ketimbanga kedua orang tuanya.
Hari itu juga pemerintah memerintahkan supaya segara mempersiapkan penguburan. Wani dan Wady berupaya protes tentang pemakaman yang mau dipercepat itu. Sang hukum tua bersikeras bahwa dia hanya menjalankan peraturan desa. Telah ditetapkan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang bertentangn dengan nilai-nilai kekristenan dan adat desa. Jadi, tak ada upacara. Tak ada penghormatan jenasah.
“Bapak Hukum Tua, kami mohon supaya penguburan ditunda hingga besok. Bapakkan tahu to, ini peristiwa mendadak. Torang masih tunggu keluarga dari jao. Satu hari saja. Tidak lebih.” Wani meminta sedikit memohon.
“Begini, aturan adalah aturan aturan sudah dibuat. Dan itu untuk kebaikan kita bersama. Kalau aturan ini dilonggarkan itu sama saja dengan bersikap permisif terhadap perilaku bunuh diri,” kata hukum tua dengan bahasa Indonesa yang dibuat-buat sehingga terdengar ilmiah.”
“Bukankah sangat tidak bijak apabilaaturan itu diberlakukan pada anak yang sebetulnya tak mengerti dengan apa itu bunuh diri? Kenapa kalian tak memberi pengampunan. Saya yakin Tuhan adalah pengampun. Dia pasti akan mengampuni anak kami. Dia tidak bunuh diri. Dia dibunuh oleh ketertekanan dan ketidakadilan. Dia adalah mangsa iblis. Dia adalah korban. Kenapa dia yang harus dihukum?”
Tampaknya selogis apapun argumen Wani tak akan mengubah pendirian Hukum Tua. Padahal, pada kasus waktu lalu, waktu adik dari sekdes melakukan bunuh diri, peraturan ini didiamkan saja.
Ayah Ratu tak datang saat anaknya dikubur. Banyak saudara jauhpun tak sempat.
Beberpa tahun kemudian, ayah dan ibu Ratu bertemu dan memutuskan untuk memulai kembali dari awal. Pengalaman buruk telah memberikan mereka pelajaran yang sangat bernilai. Meskipun anak satu-satunya menjadi tumbal.
Masalah lalu biarlah berlalu. Mereka telah belajar tentang nilai-nilai kehidupan sejati. Pernikahan ulang dilakukan. Hal ini harus karena kedua orang tua Ratu sempat bercerai beberapa bulan setelah dia meninggal. Mereka dikaruniakan seorang putrid yang cantik. Sangat mirip dengan ratu. Merekapun menamakan anak itu Ratu.

Selesai

1 komentar:

rinapirasa mengatakan...

Mengharukan :(
mar dpe tokoh da ambe dri pa Sir pe Kel kang?!
:D